Rabu, 04 November 2020

PENDIDIKAN KRISTEN UNTUK ANAK JALANAN: RUMAH SINGGAH BERBASIS COMMUNITY DEVELOPMENT

 

 

 

 

 

PENDIDIKAN KRISTEN UNTUK ANAK JALANAN: RUMAH SINGGAH BERBASIS COMMUNITY DEVELOPMENT

 

Albet Saragih1 &Johanes Waldes Hasugian2 Sekolah Tinggi Teologi Sumatera Utara1,2

saragihalbet01@stt-su.ac.id1, johaneswhasugian@gmail.com2

 

Abstrak

Pendidikan Kristen dapat dilakukan melalui rumah singgah sebagai upaya memberdayakan atau mengembangkan masyarakat, dalam hal ini anak jalanan. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa gereja dan komunitas orang percaya memiliki tugas dan panggilan untuk menjangkau anak jalanan dan menawarkan alternatif pelayanan pendidikan Kristen berbasis pengembangan komunitas anak jalanan. Dengan menggunakan metode pengamatan dan studi literatur yang relevan dengan topik yang dikaji penulis berupaya menemukan pendekatan ataupun model yang relevan dalam pengembangan komunitas anak jalanan. Penelitian ini menemukan bahwa dengan rumah singgah, dengan segala keterbatasan yang ada secara praktis berbeda dengan pendekatan pelayanan gereja ataupun sekolah. Namun demikian, gereja didesak agar tidak mengabaikan dan sebaliknya mulai mengaktualiasasikan dirinya dalam program pelayanan komunitas anak jalanan. Rumah singgah selain sebagai tempat pemondokan atau istirahat, membersihkan dirinya, tempat pelatihan yang berkaitan dengan skill of life, hal yang menarik bahwa rumah singgah dijadikan menjadi tempat untuk mendapat pendidikan nilai kristiani, yang di dalamnya ada aktivitas berdoa, bernyanyi rohani, belajar Alkitab bersama, dan konseling pastoral secara terprogram, serta sebagai wadah untuk melatih diri dalam menerapkan nilai-nilai Firman Tuhan, iman, kasih, pengharapan, kejujuran, tanggung jawab, dan solidaritas bagi sesama.

 

Kata Kunci : Pendidikan Kristen, Anak Jalanan, Rumah Singgah, Pelayanan, Community Development

 

Abstract

Christian education can be carried out through transit home as an effort to empower or develop the community, in this case street children. This paper aims to explain that the church and community of believers have a duty and calling to reach out to street children and offer alternative Christian education services based on community development of street children. By using the method of observation and study of literature that’s relevant to the topic being studied, the author seeks to find a relevant approach or model in the development of street children community. This study found that with a transit home, with all its limitations, it is practically different from the church or school ministry approach. However, the church is urged not to neglect and instead begin to actualize itself in the community service program for street children. Apart from being a shelter or resting place, cleaning themselves, training places related to skills of life, it is interesting that a transit home is used as a place to get Christian value education, in which there are activities for prayer, spiritual singing, group Bible study, and pastoral counseling in a programmed manner, as well as a forum for

 

 

 

 

194



Jurnal Shanan

Volume 4 Nomor 2 Oktober 2020 hal. 194-207


ISSN. 2722-4678 (Online)

ISSN: 2549-8061 (Print)


 

training oneself in applying the values of God's Word, faith, love, hope, honesty, responsibility, and solidarity for others.

 

Keywords: Christian Education, Street Children, Transit Home, Ministry, Community Development

 


Pendahuluan

Tulisan      ini      berangkat      dari keprihatinan penulis terhadap fenomena kehidupan anak jalanan yang dapat kita lihat secara kasat mata. Kita juga melihat realitas kehidupan dan perilaku yang mereka tampilkan di tengah masyarakat, tidak jarang kita melihat perilaku yang tidak sesuai dengan norma tertentu, misalnya norma sosial, khususnya agama, tidak mendapatkan pemenuhan hidup yang seharusnya, secara sosial, ekonomi, pendidikan dan agama. Padahal masa muda sejatinya perlu senantiasa diisi dengan berbagai hal yang membentuk kehidupan melalui pendidikan yang benar agar memiliki pengetahuan, karakter dan keterampilan     hidup     yang           mumpuni sebagai                 modal      atau      dasar      dalam ketahanan hidup.

Berkenaan dengan anak jalanan, beberapa penelitian atau kajian sudah dilakukan. Misalnya saja Ahmad Fauzi, yang menyoroti tentang upaya terhadap penanggulangan anak jalanan dari aspek sosial-ekonomi1, Bagong Suyanto2 yang memaparkan  tentang latar     belakang kehidupan anak jalanan dan masalah sosial  yang      ditimbulkannya.      Dari beberapa     kajian           penelitian     maupun literatur tentang anak jalanan, isu secara spesifik berkenaan dengan pendekatan terhadap anak jalanan belum signifikan

 

 

1Ahmad    Fauzi,     Usaha    Transformasi    Anak Jalanan Keluar Dari Posisi Anak Jalanan: Studi Perilaku Sosial Anak Jalanan Di Provinsi Banten,” E-PLUS: Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Vol.1, No.1 (2016): 19–31.

2Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 12.


dilakukan.      Penulis       mempelajarinya, ternyata tidak banyak tentang penanganan anak jalanan di Indonesia dikaji dari perspektif tanggung jawab etis kristiani melalui pelayanan pendidikan Kristen, dalam       rangka     membangun      karakter bangsa yang tangguh, padahal mereka juga merupakan bagian dari entitas bangsa     yang     memiliki         potensi dan memiliki kesempatan untuk berkarya dan berkontribusi bagi bangsa dan negara. Dalam kaitan inilah penulis melakukan kajian terhadap pelayanan pendidikan Kristen     bagi     anak     jalanan     melalui community development berbasis rumah singgah, dimana anak-anak diajar, diasuh, dilatih dan diperlengkapi dengan nuansa kasih Kristus di dalam dan melaluinya.

Anak jalanan (disingkat anjal”) merupakan anak yang memanfaatkan sebagian     besar            waktunya         untuk melakukan kegiatan sehari-hari di jalanan termasuk di lingkungan pasar, pertokoan dan pusat-pusat keramaian lainnya. Istilah anak jalanan‟ pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan, tepatnya di Brazilia, dengan nama Meninos de Ruas untuk menyebut kelompok anak-anak     yang hidup di jalan dan tidak memiliki tali ikatan dengan keluarga.3 Kehidupan anjal ini,       sesungguhnya       rawan       sekali. Eksploitasi anak4      dan lain-lain yang

 

3Herlina Astri, Kehidupan Anak Jalanan di Indonesia: Faktor Penyebab, Tatanan Hidup dan Kerentanan Berperilaku Menyimpang,” Aspirasi Vol.5, No.2 (2014): 145–155.

4Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ninik Yuniarti di terminal Tidar Kota Magelang ditemukan bahwa bentuk eksploitasi anak jalanan adalah sebagai pengemis dan pengamen, secara khusus yang dilakukan oleh keluarganya. Faktor penyebabnya adalah karena faktor kemiskinan,

 

195


Pendidikan Kristen Untuk Anak....

 

 


berhubungan     dengan     ketidakteraturan sosial (social disorder) yang ditandai dengan kesemerautan, ketidaknyamanan, ketidaktertiban        serta        mengganggu keindahan kota. Permasalahan ini dapat mengganggu     keharmonisan    kehidupan sosial masyarakat sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan pembangunan. Susy Y. R. Sanie, dkk dalam bukunya, “Evaluasi Dampak Program Dukungan Anak Jalanan, menyatakan bahwa dari berbagai   penelitian     terdahulu,           anak jalanan didefenisikan sebagai anak yang berumur di     bawah     18 tahun     yang menggunakan sebahagian besar waktu mereka untuk beraktivitas di jalanan, atau di tempat-tempat umum lainnya seperti terminal bus, stasiun kereta api, pasar, tempat hiburan, pusat perbelanjaan, atau taman kota.5 Sering kali mereka menjadi objek eksploitasi oknum-oknum tertentu; apakah     dijadikan  sebagai     pencopet, pengemis yang didrop di beberapa tempat strategis, menjadi kurir narkoba. Karena anak yang di bawah umur diajak jualan di jalan raya merupakan bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)6. Bahkan beberapa kali kasus fedofilia terjadi, dimana anak-anak jalanan menjadi korban para homoseks. Anak jalanan seringkali mendapat      cap      sebagai      negatif      di masyarakat-pemalas,        bodoh,        tidak

 

 

faktor     ketidaktahuan    orang     tua     mengenai perkembangan anak dan karena faktor budaya. Ninik Yuniarti, Eksploitasi Anak Jalanan Sebagai Pengamen Dan Pengemis Di Terminal Tidar Oleh Keluarga,” Komunitas Vol.4, No.2 (2012): 210217. Lih. Desi Sianipar, Peran Pendidikan Agama Kristen Di Gereja Dalam Meningkatkan Ketahanan Keluarga,” Jurnal Shanan Vol.4, No.1 (2020): 73–91.

5Susy Y.R Sanei,dkk., Evaluasi Dampak Program Dukungan Anak Jalanan (Jakarta: PKPM, 2006).

6       Siswanto    Siswanto     dan    Ageng     Widodo, Pembinaan Anak Jalanan Melalui Pola Asuh di Rumah Singgah dan Belajar (RSB) Diponegoro Sleman Yogyakarta,” HISBAH: Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam Vol.16, No.1 (2019): 59–72.


berdisiplin,      anak-anak      jahat,      suka berkelahi, jorok, kumuh, suka cakap kotor, tidak tahu berterimakasih, suka mencuri,     atau           setidaknya       dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Dimana kelabilan emosi dan mental                 mereka       ditunjang       dengan penampilan yang kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan yang diidentikkan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah bagi masyarakat     yang            harus     diasingkan.7 Mereka sering sekali diperlakukan dengan kasar, baik oleh oknum tertentu maupun misalnya pada saat razia.

Dengan     kondisi     yang     sangat memprihatinkan        di        atas,        tentu menggetarkan nilai-nilai kemanusiawian kita. Gereja sebagai lembaga rohani, maupun sebagai komunitas yang telah mengalami pencerahan spritual, secara umum        masih     sangat     sedikit     dalam memberi perhatian khusus pada fenomena anak jalanan. Pendekatan yang dilakukan masih sporadis, lebih kepada sebatas diakonia karikatif seperti bagi sembako saat menjelang perayaan Natal, atau menjelang     perayaan     Paskah.     Hanya beberapa Yayasan atau Lembaga yang tetap konsern kepada anak jalanan.

Seperti halnya Yesus Kristus yang sangat peduli terhadap orang-orang yang lelah dan terlantar (Matius 9:36) kiranya lembaga kristiani juga menaruh perhatian juga.      Pola     pendekatan      yang             bisa dikembangkan adalah melalui perekrutan relawan di gereja. Gereja lokal di kota dapat         membagi           visi         tentang penjangkauan/pelayanan     anak    jalanan. Orang-orang     yang     tertantang     untuk mengambil bagian dalam jenis pelayanan

 

7       Tjutjup Purwoko, Analisis Faktor-Faktor Penyebab Keberadaan Anak Jalanan di Kota Balikpapan,”                            eJournalSosiologi    Vol.1,     No.4 (2013): 13–25, ejournal.sosiologi.or.id.

 

196



Jurnal Shanan

Volume 4 Nomor 2 Oktober 2020 hal. 194-207

 

ini, diperlengkapi menjadi relawan atau voluntir yang bersemangat dan rela bekorban. Sebaiknya dibentuk menjadi satu tim, yang anggotanya terdiri dari multi talenta. Sebab untuk penjangkauan anjal ini sangat dibutuhkan banyak talenta dalam mempersiapkan didikan kepada mereka. Disiapkan wadah, atau rumah singgah yang tidak jauh dari tempat mangkalnya para anjal. Tujuannya, agar mereka menjadikan rumah singgah itu sebagai homebase yang menyenangkan, ramah anak jalanan dan memberdayakan kehidupan.

Tidaklah gampang menjangkau anak jalanan ini. Apalagi sampai kepada tujuan    kita      untuk              menyelenggarakan pendidikan     kristiani.     Tantangan dan hambatannya tidak kurang banyak. Mulai dari sulitnya mereka menaruh percaya kepada orang lain, termasuk relawan. Sebab     terlalu     sering     mereka     ditipu ataupun dieksploitasi oleh oknum-oknum tertentu. Bukan hanya dari kalangan preman, tapi juga bisa dari petugas berseragam.     Tantangan     lain,   banyak diantara        mereka        tidak        bersedia membangun      ikatan      sosial     dengan siapapun. Sebab dunia jalanan yang bebas tanpa ikatan sosial telah membentuknya. Tipe seperti ini sangat sulit dijangkau. Namun     demikian     tantangan     di     atas bukanlah harga mati yang tidak bisa diterobos.              Pendekatan-pendekatan humanis yang berbalur kasih yang tulus, rela berkorban, sikap bersahabat     setia yang dimiliki oleh para relawan/ voluntir kristiani, akan dapat meluluhkan hal itu.

 

Metode Penelitian

 

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-kualitatif, artinya hasil penelitian ini berupa data deskriptif berkenaan dengan anak jalanan, dan bagaimana respons orang percaya, komunitas iman Kristen atau gereja dalam pelayanan kepada anak


ISSN. 2722-4678 (Online) ISSN: 2549-8061 (Print)

 

jalanan. Berbagai informasi ditelusuri dengan studi pustaka (library research). Dan untuk memperkuat informasi tentang anak  jalanan sebagai            dasar    dalam eksplorasi          berkenaan     dengan     rumah singgah berbasis community development yang adalah pengejawantahan fungsi pelayanan pendidikan Kristen bagi anak jalanan,        maka           pengamatan        dan keterlibatan     penulis     langsung     dalam mengelola rumah singgah juga menjadi salah satu metode yang penulis pakai dalam penelitian ini.

 

Pembahasan

 

Berdasarkan     problematika     dan fenomena yang sudah dijelaskan dalam latar belakang masalah, maka dalam pembahasan ini penulis menguraikan beberapa         hal        berkaitan             dengan pendekatan      yang      dilakukan      dalam pelayanan anak jalanan dari perspektif pendidikan    Kristen.     Namun     sebelum menguraikan        berbagai        pendekatan tersebut,     ada             baiknya    dikemukakan sepintas              berkenaan              dengan pengklasifikasian istilah anak jalanan, yang    bertujuan      untuk      memaparkan berbagai istilah yang dipakai untuk anak jalanan.

Surbakti,     dkk     dalam     Ahmad Fauzi8,    mencoba     membedakan       tiga kelompok anak jalanan: Pertama, children on the street, yakni anak jalanan menjadi penopang untuk orangtua mereka dalam kegiatan      ekonomi,      seperti      menjadi pengasong, tukang payung, tukang semir, dsb. Karena tekanan kemiskinanlah maka orangtuanya melibatkan mereka untuk mencari nafkah. Kedua, children of the street, yakni anak-anak hidup di jalanan lebih karena berbagai faktor, antara lain

 

 

8Fauzi, Usaha Transformasi Anak Jalanan Keluar Dari Posisi Anak Jalanan: Studi Perilaku Sosial Anak Jalanan Di Provinsi Banten.”

 

197


Pendidikan Kristen Untuk Anak....

 

 


anak korban KDRT, anak lari dari rumah karena kurang mendapat perhatian dan kasih sayang orangtua, anak korban karena perceraian orangtuanya, atau anak yang menjadi korban bencana alam. Orangtua mereka memang ada, tapi anak-anak itu tidak bergantung lagi kepada orangtua,  atau                   hubungan                di    antara keduanya sudah dingin. Biasanya, anak-anak punk banyak seperti ini.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual. Ketiga, children from families of the street, kategori ini yakni anak-anak yang berasal dari orangtuanya sendiri pun sudah lama homeless, yaitu hidup menjadi gelandangan. Tinggal dari satu tempat ke tempat          yang    lain.                Hidup   mereka terombang-ambing,     kadang     di     ruko kosong, di bawah jembatan, atau emperan toko, atau hidup di atas gerobak dan beca. Anak-anak keluarga ini dilahirkan, dan dibesarkan di jalanan. Tidak pernah mendapat pendidikan formal, TK, SD, SMP. Karena sering sekali mereka tidak punya identitas KTP atau KK, sehingga pemerintah kota tidak dapat menjangkau mereka dengan fasilitasnya.

Sesungguhnya,       stigma       yang disematkan masyarakat kepada para anjal ini, tidaklah sepenuhnya benar. Sebagai manusia ciptaan Tuhan, tentulah mereka sebagai mahluk sosial yang mengidamkan perhatian, kasih sayang yang tulus, perlakuan adil, serta butuh pemberdayaan yang             serius.     Kasih     sayang     adalah pendidikan hidup yang terenggut dari kehidupan       anak       jalanan.       Mereka dialpakan    dan  dianggap       sampah masyarakat. Di balik penampilan yang kumuh dan kotor, tersimpan jiwa anak-anak     yang     mendamba     rumah     dan perhatian.9        Jika      didekati             baik-baik,

 

9Tri Supartini, Sudah Ramah Anakkah Gereja?: Implementasi     Konvensi     Hak     Anak     Untuk


mereka akan membuka diri.10 Keberadaan mereka tidak jarang dijadikan indikator kemelaratan dan krisis nilai-nilai sosial di masyarkat. Pada dasarnya anak jalanan adalah kelompok anak yang menghadapi banyak masalah.11

Dalam sudut pandang kristiani, anak        jalanan ini        bukanlah          sampah masyarakat, bukan pula objek eksploitasi yang     membawa     keuntungan     kepada oknum-oknum tertentu. Anak jalanan adalah mahluk ciptaan Tuhan, yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan      anak-anak      normal      lainnya. Menjadi anak jalanan bukan pilihan, akan tetapi faktor keterpaksaan. Anak-anak di bawah umur dengan terpaksa oleh karena himpitan ekonomi keluarga, kurangnya perhatian dan kasih sayang orangtua, sehingga harus menjadi anak jalanan. Faktor yang menyebabkan keberadaaan anak     jalanan     tersebut adalah     faktor ekonomi, faktor pendidikan yang rendah baik dari orang tua maupun anak, kesadaran dari diri pribadi si anak yang ingin membantu orang tua.

Berkenaan dengan perlindungan anak12     dinyatakan bahwa anak adalah anugerah    dan                   memiliki        harkat       dan martabat     seutuhnya,        mereka adalah tunas, potensi, dan generasi muda bangsa yang menjadi penerus cita-cita perjuangan bangsa. Oleh karena itu, setiap anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-

 

Mewujudkan Gereja Ramah Anak,” Jurnal Jaffray Vol.15, No.1 (2017): 1–30.

10Maria Serenade Sinurat, Pendekar Pendidikan Anak          Jalanan,”               2010, https://amp.kompas.com/edukasi/read/2010/06/09/ 09591229/Pendekar.Pendidikan.Anak. Jalanan. 11Indrasari Tjandraningsih, dkk., Dehumanisasi Anak        Marjinal:        Berbagai        Pengalaman Pemberdayaan     (Bandung:     Yayasan     Akatiga, 1996).

12Undang-Undang RI Tentang Perlindungan Anak (Indonesia, 2002), https://www.kpai.go.id/hukum/undang-undang-

uu-ri-no-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak.

 

198



Jurnal Shanan

Volume 4 Nomor 2 Oktober 2020 hal. 194-207

 

luasnya untuk tumbuh berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya       perlindungan  serta     untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan           jaminan           terhadap pemenuhan hak-hak anak tanpa adanya diskriminasi.

Faktor keadaanlah yang memaksa membuat anak jalanan menjadi seperti itu. Keadaan lingkungan jalanan yang kasar dan kurang bersahabat, menempa mereka menjadi individu yang kasar dan egois. Kerasnya persaingan dalam ekonomi, yang membuat mereka harus kerja keras untuk sesuap nasi, membuat mereka menahankan         hujan           dan panas     yang berdampak bukan saja wajah mereka keras, tapi hatinya pun keras. Kerasnya hati membawa anak jalanan tidak mudah menerima nasihat, selalu curiga dengan setiap orang, keras kepala, dan belum mau menerima perubahan. Perkembangan spritualitas mereka menjadi terabaikan oleh karena pengaruh kerasnya kehidupan yang mereka jalani. Tetapi sesungguhnya, sebagai manusia normal, tentulah relung hati mereka tetap merindukan sentuhan-sentuhan        layanan        rohani   yang menyejukkan         dan         melembutkan. Hadirnya      sosok      kebapaan      rohani, keteladanan hidup, dan mengasihi dengan tulus akan menjadi tetesan-tetesan air sejuk pada orang yang kehausan saat melintasi            perjalanan     kehidupan                   yang kompleks.

Pengayoman         yang         sejati, advokasi,       dan      pemberdayaan      yang berjenjang adalah kebutuhan mereka. Oleh karena itu, gereja sebagai lembaga dan komunitas, tidak bisa tinggal diam menunggu mereka datang. Gereja bukan menara gading yang indah dan memukau. Gereja seyogianya hadir dan peduli


ISSN. 2722-4678 (Online) ISSN: 2549-8061 (Print)

 

kepada mereka13. Seperti Yesus Kristus dari kemuliaan-Nya yang kekal turun ke dunia menjadi sama dengan manusia oleh karena kasih-Nya kepada kita. Yesus berkeliling           ke         semua  kota                       dan desa...Melihat       orang       banyak       itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar    seperti     domba yang tidak bergembala (Mat. 9:35-36). Hampir sama dengan itu, para anak jalanan ini juga lelah dan terlantar. Mereka seperti domba yang tidak bergembala atau pemimpin rohani yang menjadi teladan. Inilah segi pelayanan yang harusnya diberi perhatian.

Tidak hanya bergelut dalam kotak pelayanan di seputar gedung Gereja saja. Pendidikan Kristen dalam arti yang seluasnya seyogianya hadir bagi mereka. Pendidikan Kristen yang membebaskan para    anak     jalanan     dari    kebodohan, kemiskinan, dan amoralitas berupaya menjadikan mereka manusia baru yang memiliki     masa           depan     yang  cerah, memahami jati diri atau gambar diri sehingga dengan demikian mereka dapat menghargai diri dan orang lain, serta memahami     perannya     dalam     konteks berbangsa dan bernegara.

Rumah Singgah, sebagai suatu alternatif model pelayanan pendidikan Kristen, adalah suatu wadah yang di dalam dan melaluinya anak jalanan mendapatkan  kesempatan                  dilayani, dididik, dilatih, dan diperlengkapi untuk memulihkan hidupnya. Pelayanan dari Rumah      Singgah       bertujuan       untuk menghidupkan gambar Allah, penguatan etika, spiritual, dan moralitas bagi anak jalanan, sehingga ketika mereka mengais rejeki di lapangan,     memiliki sikap yg

 

 

13Hans Geni Arthanto, Hans Geni Arthanto,

Kemiskinan Dan Peran Gereja, 24 September


2018,        https://pesat.org/article/kemiskinan-dan-peran-gereja/.

 

199


Pendidikan Kristen Untuk Anak....

 

 


baik, sopan, jujur dan berpengharapan yang teguh. Nilai-nilai kehidupan inilah yang      mewarnai              seluruh           aktivitas pelayanan yang dilakukan oleh pengurus rumah singgah.

Robert Pazmino14 mengemukakan bahwa pendidikan Kristen sebagai proses belajar   mengajar                yang      berdasarkan Alkitab, dimampukan oleh Roh Kudus dan berpusat kepada Kristus. Menurutnya, pendidikan         Kristen             berusaha membimbing individu di semua tingkat pertumbuhan      lewat      berbagai      cara pengajaran       kontemporer       ke       arah pengenalan dan pengalaman akan rencana dan tujuan Allah melalui Kristus dalam setiap      aspek      kehidupan.      Lawrence Cremin dalam Groome15 melihat bahwa pendidikan      menghasilkan      perubahan, pembaruan, dan reformasi dalam diri individu,       kelompok,       dan       struktur masyarakat oleh karena kuasa Roh Kudus sehingga     membuat     mereka            semakin serupa dengan kehendak Allah yang dinyatakan dalam Kitab Suci dan dalam pribadi Kristus.

Berdasarkan pemikiran Lawrence Cremin           tersebut           kita      dapat mengemukakan                      bahwa        pendidikan Kristen dalam konteks pelayanan anak jalanan mencakup, pertama bahwa proses pembelajaran bagi anak jalan didasarkan secara alkitabiah, mengandalkan kuasa Roh Kudus ketimbang mengandalkan kekuatan diri, dan berpusatkan pada Kristus yang menyelamatkan kehidupan manusia.     Kedua,     bahwa     pendidikan Kristen berupaya membimbing setiap pribadi anak jalanan untuk bertumbuh sesuai dengan tarafnya melalui cara-cara mengajar yang sesuai atau relevan agar mengetahui dan mengalami maksud dan

 

 

14      Pazmino Robert W., Fondasi Pendidikan Kristen: Sebuah Pengantar Dalam Perspektif Injili (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012). 15Thomas Groome, Christian Religious Education (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011).


rencana Allah melalui Yesus Kristus dalam      setiap   segi      kehidupan       dan melengkapi mereka untuk pelayanan yang efektif, menjadi serupa dengan Kristus (Rom. 8:29). Ketiga, bahwa pendidikan Kristen tidak terikat dengan fasilitas gedung/ruang kelas namun merupakan proses belajar mengajar, seperti yang dilakukan oleh Allah kepada Musa (Ul. 4:10) dan Paulus kepada Timotius (II Tim. 3:10-15).

Tahapan      pemberdayaan      anak jalanan    melalui       Rumah       Singgah berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah yang dikeluarkan oleh Depsos RI16,     secara     garis     besarnya     adalah pertama,             Penjangkauan             dan pendampingan        di        jalan,        kedua, Indentifikasi anak (problem assessment) yaitu           suatu           proses           untuk mengindentifikasi dan mengkaji identitas anak riwayat hidup, masalah, kebutuhan, potensi dan dinamika kehidupan anak jalanan.     Ketiga,     Resosialisasi,     yaitu kegiatan merubah sikap dan perilaku anak agar sesuai dengan nilai dan norma sosial. Keempat,     Pemberdayaan         untuk   anak jalan. Kelima, Pemberdayaan untuk orang tua anak jalanan. Terakhir, Terminasi (pengakhiran pelayanan).

Pelayanan        Rumah        Singgah merupakan             upaya             pelayanan kesejahteraan sosial terhadap anak jalanan yang dilandasi oleh UUD 1945 pasal 34. Rumah    Singgah       sendiri       menurut Departemen Sosial didefinisikan sebagai suatu wahana yang akan dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka mereka. Tujuan Rumah Singgah secara umum adalah membantu anak jalan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan

 

16Departemen Sosial, Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah (Jakarta: Departemen Sosial RI, 1999).

 

200



Jurnal Shanan

Volume 4 Nomor 2 Oktober 2020 hal. 194-207

 

kebutuhan hidupnya. Sedangkan tujuan khususnya      adalah: 1)         Membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. 2) Mengupayakan anak-anak     kembali     ke     rumah     jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan. 3) Memberikan          berbagai          alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga masyarakat yang produktif.

Rumah     Singgah    menggunakan pendekatan centre based program dengan fungsi intervensi rehabilitatif. Meskipun demikian,      Rumah       Singgah           juga menggunakan     pendekatan                       community based dan street based yang tercermin dalam beberapa program dan kegiatannya yaitu dengan melakukan pemberdayaan.

Pengembangan               komunitas (community    development)        tersebut melalui Rumah Singgah dimaksudkan dengan dasar berpikir bahwa dalam komunitas anak jalanan dapat dilayani dan     diberdayakan      bersama.     Dalam komunitas      ada      komunikasi      untuk menyampaikan visi dan cerita kerajaan Allah, berita keselamatan dan kebaikan-kebaikan Allah bagi umat-Nya, dahulu, kini dan seterusnya. Dalam komunitas komunikasi antar anak jalanan dibangun, dan dengan demikian mereka belajar untuk mengenal dan memahami satu dengan yang lain, belajar untuk saling menghargai dan belajar untuk hidup bersama       dalam       komunitas       yang membangun. Dalam komunitas terjadi penguatan untuk terus bertumbuh dan menjadi   pribadi     yang     dewasa        dan seutuhnya.     Apabila     komunitas     anak jalanan     diarahkan     pada     tujuan dan harapan tersebut, maka rumah singgah haruslah menjadi wahan yang ramah bagi mereka, dan yang tidak kalah pentingnya adalah      orang-orang      yang      memiliki


ISSN. 2722-4678 (Online) ISSN: 2549-8061 (Print)

 

panggilan dan tanggub jawab hendaknya memiliki persepsi, visi dan spirit yang sama,         yaitu                   dalam        rangka memberdayakan      anak        jalanan      agar mereka      memiliki      kepenuhan      hidup (Yoh.10:10b). Oleh karena itu, fasilitator dalam pelayanan pendidikan Kristen bagi anak     jalanan     hendaknya     senantiasa berorientasi        atau        berpusat        pada pemodelan     pengembangan     komunitas sebagaimana yang Yesus telandankan dalam kehidupan dan pelayanan-Nya.

 

Metode Pendidikan Kristen Untuk Anak Jalanan

 

Sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa pendidikan Kristen adalah pendidikan yang                 dilakukan   bersifat holistik,        tidak        difokuskan        pada pengetahuan, moral, etika, agama dan budi perkerti saja, tetapi juga menyangkut aspek-aspek        lain        yang       bersifat memulihkan gambar Allah pada manusia yaitu menjadi serupa dengan Kristus. Pendidikan      Kristen      dapat      diartikan sebagai     misi    iman    Kristen     dalam memulihkan gambar dan rupa Allah dari dosa, serta membina potensi–potensi yang ada di dalam dirinya, yaitu perspektif spiritual/rohani (rasa, cipta, hati nurani), mental (pikiran, perasaan, kehendak), dan aspek     jasmani     (panca      indera  dan kemampuan–kemampuannya). Pendidikan Kristen membawa manusia untuk     kembali     kepada     hidup     yang seutuhnya di dalam Kristus. Saragih dan Hasugian17  memakai     istilah     asuhan Kristen untuk menekankan pendidikan Kristen yang dilakukan oleh orang tua atau keluarga Kristen. Di dalamnya ada upaya mengasuh dan memberi teladan kepada orang-orang (termasuk anjal),

 

17Albet Saragih and Johanes Waldes Hasugian, Model Asuhan Keluarga Kristen Di Masa Pandemi Covid-19, Teruna Bhakti Vol.3, No.1 (2020):               1–11,      http://stakterunabhakti.ac.id/e-journal/index.php/teruna/article/view/56.

 

201


Pendidikan Kristen Untuk Anak....

 

 


memperlengkapi agar mereka menjadi pribadi yang dewasa, berprestasi, sopan santun, ramah, dengar nasihat orang tua, dan takut akan Tuhan

Pendidikan       Kristen       melalui Rumah Singgah dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk, antara lain: Pertama, konseling   pribadi.       Dalam       rangka menolong orang dengan kondisi yang khusus      kemudian berkembang bentuk pendampingan           khusus yang     disebut konseling      (Counseling).      Selanjutnya layanan     konseling pastoral     (Pastoral Counseling). Konseling Pastoral adalah sebuah layanan percakapan terarah yang menolong orang yang tengah dalam krisis18    agar mampu melihat dengan jernih krisis yang dihadapinya. Dengan demikian, diharapkan, orang tersebut mampu menemukan kemungkinan solusi atas krisis yang dihadapinya. Konseling ini dilakukan oleh relawan sebagai kakak rohani, baik di Rumah Singgah, atau dimana saja,        yang penting terjalin hubungan yang akrab, saling percaya, dan dilandasi iman kepada Yesus Kristus.

Kedua,           kunjungan           dan pendampingan.      Relawan  melakukan pendekatan       pribadi,                                  dengan       cara mengunjungi serta mendampingi saat anjal di jalanan. Dalam kesempatan inilah anjal dapat diajak bersahabat, dan saatnya yang tepat dapat mengajak secara pribadi-pribadi untuk ikut program di rumah singgah untuk mendapat pendidikan dan pembinaan        kristiani.        Sebagaimana dilakukan oleh Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT) dengan program merumahkan       anak       jalanan,       yaitu mengajak mereka tinggal di sekretariat dan menjadi anak binaan19. Kunjungan

 

 

18Hendri      Wijayatsih,      Pendampingan      Dan Konseling Pastoral, Gema Teologi Vol.35, No. 1/2           (2012):           1–17,           https://journal-theo.ukdw.ac.id/index.php/gema/article/view/122. 19Aniyatul Nasofa, Muhadjir Effendi, and Nurhadi Nurhadi, Strategi Pendampingan Anak Jalanan


dan pendampingan anjal ini juga bisa dilakukan dengan cara perkunjungan kepada keluarganya. Sebab banyak anjal dari     keluarga  miskin  yang    tinggal perumahan kumuh. Mereka mengasong, ngamen, atau tukang semir sepatu untuk membantu ekonomi keluarganya. atau bentuk-bentuk pendidikan Kristen yang diadakan dalam pelayanan rohani kepada anak jalanan ini adalahperkunjungan dan menjalin persahabatan.

Relawan dari Rumah Singgah dapat terlebih dahulu menjadwal rutin perkunjungan kepada anak-anak jalanan di        tempat-tempat     mana    mereka mengamen      di         jalanan,          atau     tempat mangkal yang asongan atau pencari barang rongsokan. Jadwal perkunjungan dilakukan pada setiap Jumat-Sabtu akhir pekan. Menjalin persahabatan dengan mereka     agar     tercipta     sikap     saling menerima satu dengan yang lain. Relawan mengajak bercerita, atau sekedar minum kopi atau teh atau makan bakso. Ada anak bersikap terbuka sehingga cepat akrab dengan relawan. Tapi ada juga anak orang tertutup,bicara seperlunya, dan bersikap curiga selalu. Untuk anak seperti ini, butuh proses yang lama dan kesabaran. Setelah terjalin persahabatanlah baru bisa diawali pertemuan secara terjadwal di Rumah Singgah.

Model Pendidikan Kristen yang dilakukan lebih menitikberatkan pada penanaman nilai-nilai kristiani20; antara lain:1). Nilai ketaatan kepada Tuhan dan Firman-Nya, 2). Nilai solidaritas dalam kebersamaan, 3). Nilai kejujuran, 4). Nilai sikap bertanggung jawab, 5). Nilai sikap

 

(Studi Kasus Di Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur),” Jurnal Pendidikan Non Formal Vol. 11, No.1–7           (2016), http://journal2.um.ac.id/index.php/JPN/article/vie w/2949.

20May Rauli Simamora and Johanes Waldes Hasugian, Penanaman Nilai-Nilai Kristiani Bagi Ketahanan Keluarga Di Era Disrupsi,” Regula Fidei Vol.5, No.1 (2020): 13–24.

 

202



Jurnal Shanan

Volume 4 Nomor 2 Oktober 2020 hal. 194-207

 

hidup bersih dan rapi. Kelima nilai di atas menjadi bahan panduan dalam membuat segala aktivitas pembinaan dan pelatihan di Rumah Singgah. Ada jadwal kegiatan ibadah dan Penelahan Alkitab bersama setiap hari Senin dan Jumat sore setiap pekan. Ada latihan musik bersama setiap Sabtu sore, rutin di Rumah Singgah, tapi bisa juga di studio musik yang disewa per jam. Dari Senin-Sabtu ada staf relawan di Rumah Singgah yang melayani dan mengawasi anak-anak yang datang ke Rumah singgah, baik karena mau istirahat sebentar, atau mau mandi dsb. Tapi anak-anak        itu        dapat            berkonsultasi,                           atau konseling pastoral bagi yang bermasalah. Kedekatan, persahabatan, penuh cinta kasih, selalu ditekankan dalam menjalin hubungan antara relawan dengan anak-anak jalanan yang ada dalam binaan Rumah Singgah.

 

Ketiga, ibadah dan pemahaman Alkitab. Setelah pendekatan kepada anak jalanan  berhasil,                 sedapat       mungkin dilakukan       maka       ibadah       bersama kelompok dan diikuti kegiatan Penelahan Alkitab (PA) dapat mulai      dilakukan. Biarlah mereka mulai mengenal nilai-nilai pendidikan                 Kristen     melalui     kegiatan ini.Dalam     pendidikan Kristen,Alkitab merupakan landasan berpikir, landasan bertindak, dan rule-nya21. Selanjutnya ada kegiatan     keakraban     terlebih     dahulu, kemudian        masuk        acara        ibadah; bernyannyi bersama lagu rohani, ada doa, Firman     Tuhan     disampaikan     dengan sederhana dan seefektif mungkin. Selalu ditekankan kepada pembentukan karakter kristiani,     seperti     keinginan     Kristus. Contohnya      tentang      nilai      kejujuran,

 

 

21Maria Lidya Wenas and I Putu Ayub Darmawan, Signifikansi Pendidikan Anak Dalam Perspektif Alkitab, Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Vol.1, No.2 (2017): 118–128, https://journal.sttsimpson.ac.id/index.php/EJTI/art icle/view/69.


ISSN. 2722-4678 (Online) ISSN: 2549-8061 (Print)

 

kebaikan moral, sopan santun, kasih yang tulus, membangun kerjasama, dan takut akan Tuhan.                         Ibadah memakai alat-alat musik mereka ketika ngamen, bila perlu ditambah alat musik keyboard dll, dan sound sistem yang baik.

 

Keempat, hearing (mendengar isi hati). Anak jalanan yang penuh dengan pergumulan hidup sangat mendambakan sosok rohaniawan yang tulus, yang mau mendengar segala keluh kesah mereka. Yang memberi dan membuka telinganya dengan tulus, menyediakan waktunya secara berkualitas (quality time) bersama mereka, baik secara pribadi maupun komunitas. Bukan menggurui, bukan pula memberi banyak nasehat dan petuah. Terjalin hubungan yang setara, penuh persahabatan,     tulus,             dan        saling menghargai. Mau dan ikhlas mendengar segala keluh kesah mereka, itu saja pun sudah sangat bernilai positif bagi proses pemulihan anjal ini. Apalagi disertai aksi untuk mengasihi,          mengayomi,      dan memberdayakan, tentu lebih baik lagi.

 

Kelima, menanamkan nilai dan melatih diri. Anak jalanan pada umumnya hidupnya               sembarangan.   Duduk    di sembarang      tempat,   tidur      juga    di sembarang tempat; apakah di emperan toko, di trotoar , di bawah jembatan atau play over. Hidup seharian di jalanan atau di perempatan lampu merah yang sering kali penuh debu, polusi dsb. Sehingga pakaian dan tubuh mereka kotor, kulit menjadi     legam,          rambutnya       menjadi kusam tak terurus. Karena itu, ketika mereka menjadi anggota komunitas di Rumah        Singgah,        mereka        harus ditanamkan nilai-nilai bertanggung jawab, dilatih     hidup     bersih     (membersihkan badannya dengan mandi pagi dan sore, menyuci pakaiannya, menjaga kebersihan Rumah Singgah, membersihkan setiap hari alat musiknya maupun barang-barang bawaanya     ketika     di     jalanan.     Dan

 

203


Pendidikan Kristen Untuk Anak....

 

 


ditanamkan sikap jujur, tidak boleh mencuri barang orang lain.

 

Keenam, pelatihan life skill. Anak jalanan sangat membutuhkan pelatihan keterampilan khusus (life skill) tertentu sesuai minat dan bakatnya, sebagai bekal bagi mereka untuk mengubah hidup masa depannya. Dengan kegiatan peningkatan kualitas anak jalanan melalui pemberian pendidikan, pelatihan dan belajar usaha agar mereka menjadi warga masyarakat yang produktif.22Ada pelatihan komputer, musik,     pertukangan,    bengkel     mobil, motor, atau sepeda. Ada kursus salon, atau kursus menjahit bagi remaja putri. Ada kursus untuk servis HP, servis komputer,           servis      AC.   Ada      perlu pemberian modal awal untuk berjualan yang disertai latihan pembukuan dan marketing. Melatih mereka untuk jualan secara online. Namun keseluruhan dari pelatihan life skill ini, selalu diselipkan penanaman dan pelatihan terhadap nilai-nilai kristiani yang telah disebut di atas tadi.

Karena beragamnya latar belakang masalah yang dialami para anak jalanan ini, maka dibutuhkan berbagai macam pendekatan dan strategi yang relevan dengan apa yang dihadapi oleh anak jalanan.    Pada    umumnya,    pendekatan pribadi berbasis kebutuhan anak jalanan yang dilakukan karena anak jalanan banyak menghabiskan waktu di seputar perempatan       lampu         merah, maka pendekatan     yang      dilakukan      adalah mengusahakan ketersediaan rumah atau ruko yang dijadikan Rumah Singgah di sekitar mereka mangkal. Adanya rumah singgah ini dimaksudkan untuk: a). Menjadi pemondokan bagi mereka untuk

 

 

22Fikriryandi Putra, Dessy Hasanah, and Eva Nuriyah, Pemberdayaan Anak Jalanan Di Rumah Singgah,” Share Social Work Journal Vol.5, No.1

(2015): 51–64.


istirahat siang, atau malam hari; b). Menjadi  tempat mereka untuk membersihkan dirinya dengan mandi dan mencuci pakaiannya; c). Menjadi wadah bagi mereka untuk bersosialisasi; d). Yang paling utama adalah menjadi tempat bagi mereka untuk mendapat didikan rohani secara kristiani, antara lain berdoa, bernyanyi     rohani,     Penelahan     Alkitab bersama, dan konseling pastoral secara terprogram; e). Menjadi tempat pelatihan yang berkaitan dengan skill of life bagi mereka, antara lain lain berlatih bermain musik, latihan vokal, lathan tari dan bermain drama, kursus komputer, latihan industri rumah tangga, kursus salon, kursus menjahit, latihan pertukangan, latihan     sablon,          pangkas      dan     salon kecantikan, dsb; f). Rumah Singgah juga menjadi wadah bagi mereka melatih diri dalam menerapkan nilai-nilai Firman Tuhan,         iman,kasih,         pengharapan, kejujuran,       tanggung       jawab,       dan solidaritas.

Memiliki      kepedulian     terhadap masa depan anak jalanan merupakan sesuatu sikap yang baik dan menjadi salah satu modal dasar memulai pelayanan pendidikan Kristen. Akan tetapi tidak cukup hanya kepedulian semata. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi dalam melakukan pelayanan pendidikan Kristen terhadap anak jalanan.

Pertama, konsistensi panggilan pelayanan untuk jenis seperti ini harus dimiliki oleh pengelola Rumah Singgah maupun para relawan. Alasan utamanya, karena pelayanan sedemikian rupa maka para relawan maupun perintis Rumah Singgah        siap      berkorban,       mendekati mereka,     bersahabat     dengan     mereka, sebagai menjadi sama seperti mereka juga. Kemungkinan kita harus sama ngamen, bermain dengan mereka di kolong jembatan, makan ala kadarnya, tidur apa adanya. Ini adalah hidup yang rawan. Bisa bersama terkena razia pihak


 

204


 


Jurnal Shanan

Volume 4 Nomor 2 Oktober 2020 hal. 194-207

 

yang berwenang. Kalau relawan bukan panggilannya rindu    untuk   mengubah hidup para anak jalanan, maka tentulah ia tidak bisa bertahan lama karena terlalu beratnya tantangan. Oleh karena itu, relawan harus dilengkapi kartu identitas selain KTP, juga kartu tugas sebagai relawan yang ditugaskan oleh yayasan pelayanan Rumah Singgah.

Kedua,     topangan     dana     yang minim. Dinas Sosial, dari tingkat pusat hingga   ke     daerah               sudah    mengatur penyelenggaraan tentang Rumah Singgah. Disamping itu, ada banyak rumah singgah anjal yang didirikan atas keprihatianan dan panggilan jiwa untuk ikut serta mewarnai kehidupan anak jalanan dengan memberikan pendidikan Kristen. Karena keterbatasan dana ini banyak Rumah Singgah tutup. Memang butuh dana yang lumayan besar dalam menyelenggarakan pendidikan Kristen melalui wadah Rumah Singgah. Kebutuhan dana itu untuk sewa ruko     pertahun     puluhan     juta;     untuk kebutuhan operasional seperti listrik, air, snack mereka setiap PA, atau latihan-latihan life skill. Selain itu diperlukan dana untuk seperangkat meja dan kursi kantor,     komputer     dan     printer,     beli peralatan musik, dan sound system. Diperlukan juga dana untuk membayar PK (Persembahan Kasih) bukan honor, kepada berapa orang relawan minimal sesuai UMR, membayar honor tenaga ahli, nara sumber, atau pelatih Life Skill mereka yang tentunya di atas UMR tadi. Inilah      faktor-faktor      yang      menjadi tantangan dan hambatan apa dalam mewujudkan pendidikan kristiani kepada anak jalanan.

Solusi jangka pendek maupun jangka panjang di sekitar dua hal berikut: 1). Membangun jaringan yang luas, baik secara  personal,            maupun           lembaga-lembaga donor/ dermawan/ filantropis, baik dalam maupun luar negeri. 2). Merintis dan mengembang usaha yang


ISSN. 2722-4678 (Online) ISSN: 2549-8061 (Print)

 

bersifat bagi hasil antara Rumah Singgah dengan anak-anak jalanan binaannya. Umpamanya, dengan melatih anak-anak jalanan agar terampil membuat produk anyaman, jahitan, sablonan, pertukangan, ukiran,membatik  yang  produknya mereka jual, dan hasilnya berbagi untuk kebutuhan Rumah Singgah.

 

Kesimpulan

 

Berdasarkan      penelitian       yang dilakukan            dapat      dipaparkan      bahwa pendidikan Kristen adalah upaya untuk memberitakan Kabar Baik bagi anak jalanan melalui pengembangan komunitas dalam rumah singgah. Dengan demikian, pendidikan Kristen tidak hanya dibatasi oleh gedung sekolah dan tembok gereja, malahan menjangkau orang-orang yang membutuhkan,   dalam     hal                ini     anak jalanan. Pendidikan Kristen bukanlah fungsi kesekian dalam penatalayanan gereja, namun merupakan upaya integratif dengan bentuk pelayanan gereja lainnya. Oleh karena itu, program pendidikan ataupun pemberdayaan bagi anak jalanan seyogianya       menjadi       urgen       untuk diimplementasikan oleh gereja ataupun komunitas orang percaya. Selanjutnya, rumah singgah dapat menjadi salah satu program prioritas gereja atau komunitas orang         percaya         sebagai         upaya memberdayakan anak jalanan dan agar mereka      memiliki      kepenuhan      atau kelimpahan hidup.

 

Referensi

 

Arthanto,    Hans    Geni.     “Hans     Geni Arthanto, Kemiskinan dan Peran Gereja. 24      September      2018. https://pesat.org/article/kemiskinan-dan-peran-gereja/.

Astri, Herlina. “Kehidupan Anak Jalanan Di           Indonesia:       Faktor  Penyebab, Tatanan      Hidup     dan     Kerentanan Berperilaku Menyimpang.” Aspirasi


 

205


Pendidikan Kristen Untuk Anak....

 

 


Vol.5,     No.2     (2014):     145–155. https://jurnal.dpr.go.id/index.php/asp irasi/article/view/454.

Fauzi,    Ahmad.    “Usaha    Transformasi Anak Jalanan Keluar Dari Posisi Anak Jalanan: Studi Perilaku Sosial Anak Jalanan di Provinsi Banten.” E-PLUS: Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Vol.1, No.1 (2016): 19– 31. http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/E -Plus/article/view/1179.

Groome, Thomas. Christian Religious Education. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.

Nasofa, Aniyatul, Muhadjir Effendi, dan Nurhadi         Nurhadi.          Strategi Pendampingan Anak Jalanan (Studi Kasus di Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur).” Jurnal Pendidikan Non Formal Vol.11, No. 1–7 (2016). http://journal2.um.ac.id/index.php/JP N/article/view/2949.

Purwoko,    Tjutjup.     “Analisis     Faktor-Faktor Penyebab Keberadaan Anak Jalanan           di      Kota            Balikpapan.eJournalSosiologi       Vol.1,       No.4 (2013):                                      13–25. ejournal.sosiologi.or.id.

Putra, Fikriryandi, Dessy Hasanah, dan Eva Nuriyah. “Pemberdayaan Anak Jalanan Di Rumah Singgah. Share Social Work Journal Vol.5, No.1 (2015):       51–64. http://jurnal.unpad.ac.id/share/article /view/13118.

Robert W., Pazmino. Fondasi Pendidikan Kristen: Sebuah Pengantar dalam Perspektif      Injili.                     Jakarta:  BPK Gunung Mulia, 2012.

Sanei,dkk, Susy Y.R. Evaluasi Dampak Program Dukungan Anak Jalanan. Jakarta: PKPM, 2006.


Saragih, Albet, dan Johanes Waldes Hasugian. “Model Asuhan Keluarga Kristen di Masa Pandemi Covid-19.” Teruna Bhakti Vol.3, No.1 (2020): 1–11. http://stakterunabhakti.ac.id/e-journal/index.php/teruna/article/view /56.

Sianipar, Desi. “Peran Pendidikan Agama Kristen   di         Gereja  dalam Meningkatkan Ketahanan Keluarga.” Jurnal Shanan Vol.4, No.1 (2020): 73–91. http://ejournal.uki.ac.id/index.php/sh an/article/view/1769/1355.

Simamora, May Rauli, dan Johanes Waldes   Hasugian.        “Penanaman Nilai-Nilai Kristiani Bagi Ketahanan Keluarga di Era Disrupsi.” Regula Fidei Vol.5, No.1 (2020): 13–24.

Sinurat,     Maria     Serenade.     “Pendekar Pendidikan Anak Jalanan,” 2010. https://amp.kompas.com/edukasi/rea d/2010/06/09/09591229/Pendekar.Pe ndidikan.Anak. Jalanan.

Siswanto, Siswanto, dan Ageng Widodo. “Pembinaan Anak Jalanan Melalui Pola Asuh di Rumah Singgah dan Belajar (RSB) Diponegoro Sleman Yogyakarta.        HISBAH:         Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam Vol.16, No.1 (2019): 59–72. http://ejournal.uin-suka.ac.id/dakwah/hisbah/article/vie w/1351.

Sosial,           Departemen.           Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah. Jakarta: Departemen Sosial RI, 1999.

Supartini, Tri. “Sudah Ramah Anakkah Gereja?:  Implementasi   Konvensi Hak Anak   untuk            Mewujudkan Gereja Ramah Anak. Jurnal Jaffray Vol.15,       No.1   (2017):       1–30. https://ojs.sttjaffray.ac.id/index.php/J JV71/article/view/233.


 

 

206


 


Jurnal Shanan

Volume 4 Nomor 2 Oktober 2020 hal. 194-207


ISSN. 2722-4678 (Online)

ISSN: 2549-8061 (Print)


 

Suyanto, Bagong. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Tjandraningsih,           dkk,          Indrasari. Dehumanisasi       Anak       Marjinal: Berbagai                         Pengalaman Pemberdayaan. Edited by Surya Mulandar.       Bandung:       Yayasan Akatiga, 1996.

Wenas, Maria Lidya, dan I Putu Ayub Darmawan. “Signifikansi Pendidikan Anak dalam Perspektif Alkitab.” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan   Pembinaan        Warga          Jemaat Vol.1,      No.2   (2017):      118–128. https://journal.sttsimpson.ac.id/index .php/EJTI/article/view/69.

Wijayatsih, Hendri. “Pendampingan dan Konseling Pastoral.” Gema Teologi Vol.35,     No.1/2                 (2012):     1–17. https://journal-theo.ukdw.ac.id/index.php/gema/arti cle/view/122.

Yuniarti,     Ninik.     “Eksploitasi      Anak Jalanan           Sebagai   Pengamen     dan Pengemis di Terminal Tidar Oleh Keluarga. Komunitas Vol.4, No.2 (2012):                                  210–217. http://journal.unnes.ac.id/nju/index.p hp/komunitas.

Undang-Undang            RI             tentang Perlindungan Anak. Indonesia, 2002. https://www.kpai.go.id/hukum/unda ng-undang-uu-ri-no-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

207