Kamis, 29 Maret 2012

Anjal, sisi kehidupan perlu di warna*


Anjal, sisi kehidupan perlu di warna*
Oleh : Pdt Albet Saragih, MA, M.Pd.K **
  1. LATAR BELAKANG

Setiap insan manusia Tuhan ciptakan  memiliki harkat dan martabat yang sama. Tidak ada yang terlahir berbaju bahan beludru, berkalung emas, atau bersepatu Bally. Semuanya lahir tanpa sehelai benang jua. Hanya faktor alam, kesempatan, keuletan, dan keberuntungan, anugera dari Tuhanlah yang membuat kita  berbeda, baik  dalam penampakan , maupun seutuhnya. Namun secara eksistensial, kita sama. Sama-sama mahkota ciptaan Tuhan,sama- sama mahluk sosial, sama-sama butuh dicintai dan mencintai, sama-sama membutuhkan kecukupan jasmani, perlakuan yang adil, mendamba kedamaian, dan keharmonisan hidup,  keluarga, masyarakat, berbangsa.
Anak Jalanan (Anjal) di Medan, sering dicap sebagai “sampah” yang mengotori wajah kota . Stigma yang melekat pada mereka adalah “freeman”, jorok, tidak disiplin, kasar, tidak ber-etika, wajah sangar, susah diatur, mata duitan, tidak hormat pada orangtua, pemalas, suka mabuk dan suka konsumsi narkoba.Mereka ada diperempatan jalan menadahkan tangan. Ada yang ngesot, ada yang jadi “supir”menuntun orang buta dewasa, ada anjal jalan kaki pukul goni, ada yang menjual panganan seperti roti nasi dsb, ada “manusia funk” yang berdandan seperti orang Barat mengamen;tukang semir sepatu, ada juga hidup dari” jual darah”.
 
Seorang Anjal memulung untuk hidup                             Anak Binaan ngamen bersama
Mereka tidur seadanya. Di kolong jembatan Jl Perdana, dan kolong jembatan Jl Raden Saleh; di pendopo Lapangan Merdeka, di emperan-emperan toko di inti kota, di gedung-gedung tua sekitar LapanganMerdeka, atau di seputar patung Jenderal Ahmad Yani Taman di depan RS Elisabet. Ada yang tiduran seadanya di seputaran lampu merah Simpang Pringgan, seputran lampu merah Simpang Pos Padang Bulan, di seputaran bundaran Golden Petisah, atau di sekitar pemukiman kumuh (slumb) di sepanjang rel kereta api  Jl. Thamrin- Jl. Pandu.  Tapi sebagian lagi mereka pulang ke rumah orangtuanya atau walinya. Sebagian  mereka di drop oleh orang tertentu dari pinggiran kota Medan.
 
Anjal dengan beca barangnya memulung              Anjal memulung dengan naik sepeda
 
Seorang anak binaan menghitung penghasilan                      Marihot dgn 3 orang anaknya (istri & 2 orang                                                                                              anaknya tdk kelihatan) hidup dan membesarkan                                                                                                anaknya di atas beca barangnya 
Jadi boleh kita identifikasi bahwa yang digolongkan Anjal adalah :
1). Anak yang hidup di jalanan dari usia 1-17 tahun, baik bersama orang dewasa, maupun pribadi
2).  Anak-anak yang mengamen di perempatan lampu merah
3). Anak-anak yang mengemis di jalanan, baik dengan berdiri dan menadahkan tangan, maupun dengan cara “ngesot” sambil menadahkan tangan
4). Anak-anak yang jualan koran, mengelap mobil di jalanan, menyemir sepatu; jual jajanan lainnya
5). Anak yang menjadi “supir” untuk menuntun orang dewasa baik laki-laki atau perempuan yang buta, termasuk buta ecek-ecek;
6). Anak-anak yang “jual darah”, bukan donor darah.
7). Anak-anak pemulung yang hidup di jalanan, atau tinggal di kolong jembatan.
 Apakah mereka penyakit sosial yang perlu dibasmi ?. Karena itu mereka menjadi sasaran uberan Tim Penertiban Pemko. Payung hukumnya dibuatlah perda yang melarang masyarakat memberi kepada mereka. Ironis, memang.  Di saat mereka bergumul untuk sesuap nasi, mereka dipandang dan diperlakukan kurang manusiawi.
Anak-anak jalanan sering kali jadi korban. Apakah dijadikan sebagai kurir bahkan korban narkoba, dilibatkan dalam semacam geng pencurian/pencopetan, korban sodomi.Bahkan sebagian besar anjal ini korban “ngelem” sehingga badannya kurus kering.  Anak-anak kecil menjadi korban eksploitasi orangtua/orang dewasa. Ada banyak anak-anak kecil “disewa” oleh orang dewasa untuk dibawa mengemis. Tujuannya tentu supaya masyarakat lebih menaruh iba, dan memberi sedekah. Supaya anak ini tidak rewel , mengingat panas yang menyengat, maka seringkali anak kecil yang digendong itu diberi makan obat tidur secukupnya. Maka pulaslah ia sepanjang hari.
 
Anjal lagi asyik “ngelem                                                       Seorang Anjal tertidur di jalanan
  
Siti & Rokayah,sering “nyari” di keramaian                                  Daniel Mogen, anjal “berpos“ di Lapangan Merdeka
     Sekitar RS Elisabet, Medan     

Mereka mengemis di siang hari. Malam pun mereka berkeliaran. Kalau mereka ditangkap Tim Penertiban untuk “dibina” , sebentar kemudian sudah nongol lagi di jalanan. Entah jalanya yang koyak, atau tempat pemeliharaan ikannya yang sengaja dibuat buka tutup- buka tutup; mari kita tanya kepada rumput yang bergoyang. Tempat-tempat rehabilitasi, maupun pusat pelatihan keterampilan remaja milik pemerintah, belum mampu menjawab persoalan yang ada. Karena pertambahan Anjal setiap tahun melebihi kemampuan pemerintah menanggulanginya. Sehingga dibutuhkan insiatif masyarakat, atau lembaga untuk mengambil bagian dalam masalah itu.
Tapi yang pasti, para Anjal ini adalah insan ciptaan Tuhan yang harus dipulihkan harkat dan martabatnya. Mereka perlu diberdayakan. Mereka butuh pencerahan. Bukan dibenci, atau dicap negatif. Tapi butuh kepedulian kita semua. Bukan hanya bergumam,” ah kasihan sekali mereka…” Tapi mari kita singsingkan lengan baju, raihlah tangan mereka yang sedang menggapai-gapai, sebelum tenggelam disedot bumi. Mereka ingin diselamatkan, dipulihkan, dan diberdayakan hidupnya.
2.APA YANG KITA LAKUKAN
Lembaga Cahaya Fajar (LCF) sudah lebih dua tahun terjun dalam pelayanan gepeng (komunitas kolong jembatan) ini. Sebenarnya Anjal ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari komunitas Gepeng (Gelandangan Pengemis). Kami sudah akrab dan bersahabat dengan mereka. Dari awal kami  punya target. Setiap  keluarga yang siap dibina dan dimuridkan untuk dipulihkan, maka orang/keluarga tersebut harus siap pindah dari kolong jembatan. Mereka disiapkan rumah sewa satu tahun di Gg Seroja Pasar IV,  kawasan Tanjung Sari Medan, atau di Simpang Kongsi, Pancurbatu . Diberikan satu unit beca barang sepeda, dan 2 ekor anak babi untuk diasuh.
Setelah kami melihat keberhasilan recovery untuk keluarga gelandangan, rasanya kita tidak adil dan kurang sukacita kalau komunitas Anjal ini tidak dilayani juga. Sebab anak-anak ini adalah harapan bangsa, dan juga gereja. Kalau kita menginginkan ke depan masyarakat kita maju,sejahtera, adil dan nyaman,  maka anak-anak ini juga harus diberdayakan. Sebab kalau tidak, mereka kelak akan menjadi “penyakit” yang menggerogoti masyarakat. Karena itu, kami ingin mengambil bagian dalam menolong, membimbing, mencerahkan kehidupan para Anjal ini sebagai bagian dari pengabdian kepada pemerintah, dan terutama kepada panggilan Tuhan.Menyingsingkan lengan baju, berani berkeringat, bergerak cepat berpacu dengan waktu untuk melakukan recovery bagi mereka.
3. Beberapa Metode Pelayanan
1). Rumah Singgah Warna (RSW)
Sasaran Model Pemberdayaan Lembaga Cahaya Fajar (LCF) yang mendirikan Rumah Singgah Warna (RSW) ini difokuskan kepada para Anjal yang benar-benar memiliki kerinduan yang besar untuk merubah hidupnya. Dan itu kita amati dari bagaimana keseharian mereka yang gigih dan ulet. Tentunya banyak yang siap ,tapi ada juga yang tidak. Memang tidak mungkin kita berdayakan mereka sekaligus. Biarlah sedikit demi sedikit dan bertahap. Kalau bisa ada 20 orang per tahun. Sesuai dana yang tersedia, kami dari RSW juga harus banyak belajar, mengevaluasi, dan mengkaji terobosan-terobosan model baru dalam pemberdayaan Anjal ini. Dengan begitu efektitas dan efisiensi pelaksanaan program terjamin. Sebab semuanya untuk kemulian Tuhan.

Visi               : Menjangkau, memuridkan, memberdayakan Anak binaan untuk kemuliaan
                          Tuhan
Misi              :1. Menjangkau dan menjadi sahabat bagi Anak Jalanan sebanyak-banyaknya
                         2. Memuridkan Anak-anak binaan untuk melakukan nilai-nilai hidup baru
                         3. Memberdayakan Anak-anak binaan untuk ketrampilan hidup (life skill)
                            Yang memungkinkan mereka tidak hidup di jalanan lagi

Tujuan       : 1. Memulihkan dan mewarnai hidup anak binaan agar indah di mata Tuhan
  2. Menjadi sahabat yang mengasihi  dan mengayomi anak binaan
  3. Memberdayakan segala talenta, agar mereka tidak hidup di jalanan lagi
4. Membimbing dan melatih anak binaan agar memiliki nilai hidup yang ulet, suka bekerja keras, jujur, sopan santun, bertanggungjawab, setiakawan           ,
dan memiliki sikap pengasih.

Program Kerja 2010-2011

1. Pembinaan Rohani & Moral
            1).Persekutuan membangun rohani/moral dilakukan setiap Jumat Pkl 17-18 WIB
            2). Konseling Pastoral secara pribadi atas problem yang mereka hadapi
            3). Retreat atau tamasya bersama untuk membangun keakraban
            4).Membimbing, melatih dan menanamkan pola hidup bersih dan sehat
            5). Membimbing, melatih dan menanamkan pola hidup sopan santun dan hormat,
                 disiplin, dan jujur.
6).Menjalin kerjasama dengan lembaga lain untuk menangani rehabilitasi anak-anak     binaan yang sudah kecanduan narkoba/psikotropika dan zat adiktif lainnya

2. Pembinaan Keterampilan (Life Skill)
            1). Membangun kebersamaan dan kerja sama melalui latihan musik bersama setiap
                 Jumaat Pukul 16-18 WIB. Sekaligus mempersipkan mereka untuk tampil pada
                 Acara-acara tertentu
            2). Menyelenggarakan kegiatan/aktivitas yang bernilai untuk penyadaran, pendidikan            dan pelatihan sesuai talenta dan bakat anak-anak binaan
            3). Mengusahakan subsidi/beasiswa kepada anak-anak binaan yang kesulitan dana
                 Pendidikan
            4). Bekerjasama dengan lembaga lain yang bergerak di bidang PKBM
                 untuk menolong anak-anak binaan ikut peserta Paket A,B,C
            5). Melatiah dan mengembangkan UKM , dan mikro financing

3. Target
            1). Ada 20-an anak yang berkomitmen, dengan rentang usia 6-17 thn
            2). 2 Kelompok pemusik yang solid
            3). Tersedianya alat-alat music yang dibutuhkan :
                 a. 10 unit gitar klasik
                 b. 10 unit gitar keroncong
                 c. 2 unit keyboard Yamaha  E 413
                 d. 2 unit Guitar Biola
                 e.  2 unit Drum akuistik
                 f. 5 unit harmonica
                 g. 2 unit speaker aktif utk keryboard
                 h. Seperangkat drum merek Yamaha
                 i. 5 unit perangkat computer
                 j. Baju seragam 2 pasang untuk setiap anak

   
Dua relawan RSW                            Anak “punk” latihan music                       Band RSW lagi Show
Pendekatan Yang dilakukan
Puji Tuhan , dalam pelayanan di RSW ini kami sejak awal sudah punya Tim 6 orang; yakni (pengurus), Pdt Albet Saragih, Dra Elida Br Tarigan, Yetti Saragih STh sementara relawannya;Murni Lidia Pasaribu STh,  Erman Saragih, serta Angel br Purba . Para relawan ini bergaul dan bersahabat akrab dengan mereka. Mereka sering kali mengamen bersama. Kadang sore hari, dan lebih sering di malam Minggu.  Hasilnya dibagi bersama. Mereka lebih dulu sudah latihan music dan lagu-lagunya di RSW. Secara rutin, relawan juga menjadwal untuk membawa anak-anak ke studio music untuk bermain band secara lengkap. Mereka sangat sukacita. Di tempat ini mereka didorong untuk punya impian menjadi pemain band atau penyanyi yang handal dan tersohor seperti Klanting, pemenang Indonesia Mencari Bakat.
Kami juga memperhatikan secara mendalam kehidupan pribadi mereka. Ternyata sering kali anak-anak ini terpaksa makan hanya sekali sehari. Itu pun setelah dapat uang dari mengamen. Soalnya, pendapatanya sehari sebelumnya tidak mencukupi. Tapi ada juga di antara anak yang punya kewajiban harus setiap hari menyetor uang belanja kepada orangtuanya atau walinya. Pilu rasanya hati ini mendengar keluhan mereka ada yang belum sarapan pagi, belum atau makan siang, padahal sudah pukul 15.oo WIB. Itu sebabnya, kami mencoba mengusahakan  ada stok beras, sekalipun beras bulog, ada di RSW. Supaya sewaktu-waktu bisa dimasak bersama. Lauknya bisa Indomie campur telor. Jadi bisa mereka makan bersama .
Selain itu, kami juga menjadwal setiap Jumat pukul 17.oo-18.oo WIB, anak-anak wajib ikut ibadah bersama . Diupayakan  dengan metode pelayanan yang kreatif agar tidak membosankan, waktunya cukup sejam saja. Selebihnya anak-anak yang punya masalah, bisa Konseling Pastoral dengan para relawan, atau dengan 2 orang mahasiswa tingkat akhir dari STT Paulus (Desy dan Elisabet Haloho) yang belakangan bergabung karena tertarik dengan pelayanan ini. Kegiatan ini ditutup dengan makan gorengan bersama.
Setiap Sabtu Pukul 16.oo-18.oo adalah waktu latihan music bersama. Anak-anak berlatih music, berlatih lagu-lagu yang akan ditampilkan. Bagi yang belum tahu music akan dilatih. Ada latihan vocal. Berlatih lagu rohani untuk persiapan tampil pada cara-acara gereja atau lembaga lainnya yang berbau kristiani. Kegiatan ini ini ditutup dengan makan bersama. Biasanya mereka dibelikan nasi bungkus serba enam ribu .
Sejak mereka masuk dalam model pemberdayaan ini, kami dari pihak LCF berkomitmen, akan terus memberikan pendampingan, bimbingan rohani dan jasmani, serta memberikan advokasi apabila diperlukan hingga mereka mulai bisa mandiri. Para anak binaan  siang hari mereka boleh datang dan istirahat di Rumah Singgah Warna  yang beralamat di Jl. Ngumban Surbakti No.36 b, Simpang Pos Padang Bulan, Medan. Juga bagi anak-anak yang tidak ada tempat tinggal, rumah singgah adalah tempat menginap yang nyaman buat mereka.
Kami  menjadwal pembinaan untuk mereka. Lingkupnya, bina rohani/watak, bina jasmani, dan skill of life.  Kami juga berkomitmen melakukan semua ini dengan akuntabilitas yang sebaik-baiknya, demi menjaga kepercayaan para pendonasi, dan terutama untuk kemulian Tuhan.
2. Sanggar Alang-alang
 KOMPAS.com - Di mata Didit Hari Purnomo (52), pendidikan harus bisa diakses oleh siapa pun, bahkan oleh anak-anak usia belasan tahun yang tak pernah mengenal arti ”rumah” dan kasih sayang. Kesadaran ini memantiknya untuk membentuk Sanggar Alang-Alang, tempat ratusan anak jalanan di Kota Surabaya belajar tentang kehidupan.
Sejak berdiri 16 April 1999, Sanggar Alang-Alang (SAA) tetap setia pada tujuan awal, yakni menyediakan pendidikan gratis untuk anak-anak jalanan. Di SAA, anak jalanan disebut dengan anak negeri.
SAA menjadi rumah tempat makanan, seragam, ruang belajar, dan ruang bermain cuma-cuma bagi mereka. Didit menyebut SAA sebagai pendidikan berbasis keluarga.
Di sanggar, Didit menjadi bapak. Istrinya, Budha Ersa, sebagai mama. Sebanyak 187 anak usia 6-17 tahun di SAA adalah bagian dari keluarga besar. Untuk menggantikan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), Didit hanya menuntut satu hal dari anak-anaknya, yakni bersikap sopan.
Setiap masuk sanggar, anak-anak selalu dalam kondisi bersih. Mereka menyalami dan memeluk satu sama lain dan menghindari kata-kata kasar dan jorok. Bagi Didit, ini bagian dari pendidikan perilaku.
”Jika setiap hari selama sebelas tahun, seorang anak jalanan bisa diajar berperilaku sopan, tentu perilakunya akan berubah,” ujar pensiunan pegawai TVRI ini.
Pendidikan perilaku hanya satu dari pelajaran yang diajarkan di SAA. Meskipun Matematika diajarkan, SAA menitikberatkan pada ilmu-ilmu praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan anak jalanan.
”Belajar bukan hanya teori, melainkan soal implementasi. Ini yang dibutuhkan anak jalanan agar tidak kembali ke jalan,” katanya.
Hingga kini, setidaknya empat program sudah dijalankan, yakni bimbingan belajar anak sekolah dan putus sekolah, bimbingan anak berbakat, bimbingan anak perempuan rawan, dan bimbingan ibu dan anak negeri.


Pendidikan praktis
Keempat program ini difokuskan pada pengetahuan praktis. Misalnya saja, bimbingan anak perempuan rawan yang ditujukan untuk anak jalanan perempuan dan pekerja rumah tangga.
Setiap tiga hari dalam seminggu, tim SAA menyambangi anak jalanan untuk mengajari mereka tentang kesehatan reproduksi, cara membela diri, dan cara melaporkan kepada polisi jika dilecehkan secara seksual.
Lain lagi dengan program Bimbingan Ibu dan Anak Negeri (BIAN). Program ini lahir setelah Didit melihat realitas di lapangan yang keras dan suram. Kemiskinan dan kebodohan telah merenggangkan hubungan orangtua dan anak. Imbasnya, keluarga terpecah, anak-anak pun lari ke jalanan.
Banyak anak yang dieksploitasi oleh orangtuanya untuk bekerja di jalanan. Dalam kaitan ini, BIAN ditujukan untuk anak usia taman kanak-kanak dan ibunya.
Sebagai pengganti kursi, anak-anak duduk di pangkuan ibundanya. Dengan demikian, bukan hanya anak yang belajar, ibu juga belajar meluangkan waktu untuk anaknya.
”Kami berharap, dengan demikian tak ada lagi ibu yang menyuruh anaknya mencari uang di jalan,” kata Didit.
Di luar kelas, anak-anak bisa berlatih alat musik, tari, dan juga tinju. Mereka yang berbakat akan diikutkan kejuaraan tingkat daerah, bahkan nasional. Jika sudah berusia 18 tahun, mereka harus meninggalkan sanggar dan memulai kehidupannya sendiri.
”Jika mereka kembali ke jalan, artinya mereka tidak lulus. Kalau tidak, berarti lulus,” kata Didit.
Pemerintah Kota Surabaya juga mengapresiasi langkah Didit. Apalagi, program rumah singgah Dinas Sosial lebih banyak gagalnya. Program yang dibuat lembaga swadaya masyarakat pun hanya berjalan ketika ada dana.
”Selama ini anak jalanan hanya jadi obyek proyek LSM, sementara miliaran rupiah untuk rumah singgah terbuang percuma,” kata Didit.
SAA juga menjadi rujukan bagi mahasiswa dan dosen yang meneliti metode pendidikan anak jalanan.
Kasih sayang
Bertahan 11 tahun, Didit menyebut satu kunci keberhasilannya. ”Kasih sayang,” kata kakek satu cucu ini.
Kasih sayang adalah pendidikan hidup yang terenggut dari kehidupan anak jalanan. Mereka dialpakan dan dianggap sampah masyarakat. Penilaian ini bagi Didit salah besar. Dia membuktikannya 11 tahun lalu ketika menyambangi Terminal Joyoboyo, tempat berkumpul anak jalanan.
Di balik penampilan anak-anak yang kumuh dan kotor, tersimpan jiwa anak-anak yang mendamba rumah dan perhatian. Jika didekati baik-baik, mereka akan membuka diri.
Hati Didit tergugah melihat anak-anak yang menggelandang sejak kecil. Ada juga anak-anak dari tukang cuci, tukang becak, pencopet, dan kernet bus yang tak pernah diperhatikan.
Di balik toilet Terminal Joyoboyo itulah perjumpaan pertamanya dengan dunia anak jalanan. Pelan tapi pasti, pertemanan mereka terajut, dan setiap malam Didit mulai mengajari banyak hal. Banyak orang menamai mereka ”komunitas sekolah malam”.
Setahun lebih kegiatan itu berjalan hanya bermodalkan niat baik dan sebagian gaji Didit. Barulah tahun 1999, berkat derma dari orangtua murid Surabaya International School, Didit mendapat sumbangan Rp 5 juta. Uang itu dia gunakan untuk mengontrak rumah dua tahun di belakang Terminal Joyoboyo.
Untuk menyokong kehidupan anak-anak, SAA bergantung pada donasi pengusaha. Namun, kini SAA memiliki pendapatan dengan mengisi acara musik dan tari di sekolah.
Yang paling membanggakan bagi Didit, beberapa alumni SAA berhasil berdikari. Adi Hartono, misalnya, diterima di Universitas Negeri Surabaya lewat jalur prestasi. Adi yang enam tahun tinggal di SAA hanya mengikuti kejar paket A dan B, kemudian mendaftar ke sekolah menengah kejuruan.
”Adi yang sebelumnya anak jalanan bisa diterima di pendidikan formal. Saya senang luar biasa,” kata Didit.
Ada lagi, Mu’ad (18). Dua tahun lalu, Kompas bertemu Mu’ad yang mengaku tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Dia buta huruf hingga usia 16 tahun. Namun, kini Mu’ad menjelma menjadi pemuda percaya diri yang terampil menggunakan komputer.
Didit selalu mengibaratkan anak jalanan seperti alang-alang, Dia kian optimistis, alang-alang binaannya memiliki tempat sendiri di masyaraka


3) Kampung Belajar

KOMPAS.com - Persoalan angka putus sekolah tinggi di daerah pelosok tidak bisa diatasi semata dengan mendekatkan sekolah atau membebaskan biaya pendidikan. Perlu penyadaran kultur lewat strategi pendekatan pendidikan nonformal yang persuasif-atraktif.
Atas alasan inilah kemudian Roni Tabroni (31) bersama rekan-rekannya para relawan mendirikan Kampung Belajar di wilayah-wilayah pelosok di Jawa Barat. Sekilas, Kampung Belajar ini tidak ubahnya taman bacaan yang ada di desa. Tetapi, sebetulnya tidaklah sesederhana itu.
Taman bacaan hanyalah pintu masuknya supaya anak-anak dan ibu-ibu serta warga setempat tertarik untuk mau belajar dan mengembangkan dirinya, ungkap Roni, yang sehari-hari berprofesi sebagai dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD), Bandung, Jawa Barat.
Kampung Belajar tepatnya adalah pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Di dalamnya terdapat sekaligus kegiatan kepustakaan, pendampingan belajar, pemberantasan buta huruf latin dan Al Quran, hingga pembekalan keterampilan bagi ibu-ibu rumah tangga.
Sejak pertama berdiri awal 2008 di Desa Mandalasari, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Kampung Belajar dalam waktu singkat direplikasi dan berdiri di tiga daerah lainnya, yaitu Sukahening dan Sukaraja di Tasikmalaya, serta Cibingbin di Kuningan.
Dalam waktu singkat pula, keberadaan Kampung Belajar mampu menyedot animo masyarakat sekitar, anggotanya kini mencapai ribuan orang. Setiap muncul buku-buku baru, mesti itu laris dipinjam. Buku-buku koleksinya pun terus bertambah, kini mencapai lebih dari 4.000 buah.

Gratis
Untuk mendaftar jadi anggota ataupun menyewa, pengunjung tidak dimintai pungutan sepeser pun. "Mereka mau datang saja sudah bagus. Tidak perlu kami membebani lebih," tuturnya.
Adalah sebuah kebahagiaan baginya melihat anak-anak di desa terpencil ini kembali bersemangat belajar. Di wilayah terpencil, mayoritas anak-anak usia 6-15 tahun telah putus sekolah.
Kondisi orang-orang tua tidak kalah menyedihkan, banyak yang buta huruf. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan kebodohan dan kemiskinan.
"Di sini, anak perempuan, keluar dari SD, harus siap putus sekolah, lalu jadi TKW. Sementara, anak laki-laki lebih banyak diminta membantu di ladang. Ini tidak bisa mudah begitu saja diintervensi", ungkapnya.
Yang membuatnya sedih, tidak jarang anak-anak usia SMP ini ditolak saat mendaftar sekolah karena ternyata belum mahir calistung (baca, tulis, dan menghitung). Banyak dari mereka yang tidak pede kembali ke sekolah sehingga akhirnya pilih jadi buruh dan TKW, tuturnya menunjuk kondisi di Cipatat.
Membuat supaya anak-anak ini mau berkunjung ke Kampung Belajar, awalnya juga tidak mudah. Untuk menarik mereka datang, dibantu para relawan, Roni punya pendekatan yang unik. Misalnya, ketika liburan sekolah tiba, mereka mengadakan permainan grup, outbound, botram (makan bareng), hingga pemutaran film-film mendidik dan menyenangkan.
Lain lagi strategi untuk mengundang ibu-ibu buta huruf agar dengan senang hati belajar calistung. "Biasanya, kami kemas dengan acara keterampilan, misalnya, bikin kue. Dari sini, kan, muncul resep, misal, butuh terigu satu kilo. Nah, dari sini, mereka pelan-pelan tanpa sadar belajar membaca dan mengenal angka", ungkap Roni.
Para relawan yang dibebani mengajar bukan sembarang tutor. Mereka sebelumnya telah dibekali dengan pendidikan dan pelatihan dengan metode ACM (aku cepat membaca) yang telah dikembangkan sejumlah pakar pendidikan. Sementara, untuk memberantas buta huruf Arab, digunakan metode Al-Barqi dengan proyeksi dalam delapan jam sudah bisa membaca.

Relawan-relawan
Kampung Belajar mengandalkan relawan-relawan di dalam operasional kegiatannya. Tutor, pengajar, hingga penjaga taman bacaan berasal dari berbagai unsur, baik mahasiswa dari UIN Sunan Gunung Djati maupun guru dan pelajar di desa setempat. Namun, jumlahnya saat ini hanya 10 relawan.
Dengan dikelola oleh unsur warga setempat, akseptansi masyarakat diharapkan lebih tinggi. Di Kuningan, misalnya, relawan penjaga taman bacaan adalah seorang pelajar kelas dua SMP.
"Soalnya, di sana, anak SMP ini yang paling tinggi sekolahnya, dibandingkan lainnya"", katanya.
Roni bercerita, Kampung Belajar merupakan bagian dari program TEPAS Institute, sebuah organisasi pemberdayaan masyarakat yang diikutinya. "Kebetulan, oleh TEPAS, saya ini kebagian tugas di wilayah Bandung Barat. Ketika melihat kondisi di sana, saya berpikir, warga membutuhkan hal yang nyata", paparnya.
Namun, kemudian, banyak pihak yang bertanya-tanya, dari mana Roni dan Kampung Belajar bisa mendapatkan banyak koleksi buku dalam waktu singkat, padahal tanpa memungut bayaran dari warga.
"Ini didapat dari donatur dan kerja keras", jawab Roni.
Ia mengembangkan jaringan dengan organisasi-organisasi sosial, badan perpustakaan daerah, termasuk penerbit buku, untuk bisa mendapatkan sumbangan buku. Para relawan, khususnya mahasiswa, juga digerakkan untuk mengumpulkan buku-buku di kampus.
Namun, ujar Roni, tidak jarang pula pihaknya melakukan jemput bola, meminta sumbangan buku. Bahkan, pernah ia menyelamatkan buku yang nyaris dibuat bubur kertas.


Internet
Kini, pencarian donatur buku bahkan sudah dikembangkan jauh, yaitu melalui media internet. Situs jejaring sosial Facebook digunakan, termasuk laman (website) www.kampungbelajar.com.
Dalam dua tahun terakhir, minat membaca warga di lokasi Kampung Belajar terus meningkat. Sayangnya, pihaknya tidak bisa setiap saat menambah dan memperbarui koleksi.
"Padahal, meskipun sudah lecek, cetakannya lama, asalkan masih terbilang keluaran baru seperti novel Laskar Pelangi, mesti habis dipinjam", ungkapnya.
Namun, repotnya, karena tidak memberlakukan pola pendaftaran anggota secara ketat, terkadang, buku ini lama dipinjam, tidak dikembalikan. "Anggap saja sedang keliling-keliling, suatu hari nanti kembali sendiri kok. Mereka, kan, sadar, warga lainnya juga sama-sama butuh", ucapnya tersenyum.
Dia mengharapkan, warga perkotaan yang jauh lebih beruntung mau peduli terhadap pendidikan di daerah pelosok. Paling tidak, dengan turut berpartisipasi menyumbang buku bacaan bekas. Sedikit, tapi amat berarti buat mereka. (diunduh 13 April 2010; 10:30 WIB)

 
Anto, sekeluarga gelandangan sering “jual darah”        Penulis akrab dengan anjal di kolong jembatan

*Tulisan  ini disampaikan dalam  Pelatihan Pelayanan Anak Jalanan di Yayasan Penginjilan dan Persekutuan Doa (YPDPA) Medan, Minggu 3 Juli 2011.
**Penulis adalah perintis dan gembala sidang di Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia (GPIBI) Syalom di Pancurbatu, Koserna, dan Jambi. Merintis dan memimpin Lembaga Cahaya Fajar yang membuka pelayanan Recovery untuk pemulung dan gelandangan di Kota Medan, sekaligus merintis dan memimpin Rumah Singgah Warna di Simpang Pos Pd. Bulan Medan. Sehari-hari penulis adalah guru PAK SMAN 1 Pancurbatu. Sebagai dosen di STT Paulus, Medan, dan Ketua Prodi PAK di STTSU Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar