Anjal, sisi kehidupan perlu di warna*
Oleh
: Pdt Albet Saragih, MA, M.Pd.K **
- LATAR BELAKANG
Setiap insan manusia
Tuhan ciptakan memiliki harkat dan
martabat yang sama. Tidak ada yang terlahir berbaju bahan beludru, berkalung
emas, atau bersepatu Bally. Semuanya lahir tanpa sehelai benang jua. Hanya
faktor alam, kesempatan, keuletan, dan keberuntungan, anugera dari Tuhanlah
yang membuat kita berbeda, baik dalam penampakan , maupun seutuhnya. Namun
secara eksistensial, kita sama. Sama-sama mahkota ciptaan Tuhan,sama- sama
mahluk sosial, sama-sama butuh dicintai dan mencintai, sama-sama membutuhkan
kecukupan jasmani, perlakuan yang adil, mendamba kedamaian, dan keharmonisan
hidup, keluarga, masyarakat, berbangsa.
Anak Jalanan (Anjal) di
Medan, sering dicap sebagai “sampah”
yang mengotori wajah kota . Stigma yang melekat pada mereka adalah “freeman”, jorok, tidak disiplin, kasar,
tidak ber-etika, wajah sangar, susah diatur, mata duitan, tidak hormat pada
orangtua, pemalas, suka mabuk dan suka konsumsi narkoba.Mereka ada diperempatan
jalan menadahkan tangan. Ada yang ngesot, ada yang jadi “supir”menuntun orang buta dewasa, ada anjal jalan kaki pukul goni,
ada yang menjual panganan seperti roti nasi dsb, ada “manusia funk” yang berdandan seperti orang Barat mengamen;tukang
semir sepatu, ada juga hidup dari” jual
darah”.
Seorang
Anjal memulung untuk hidup Anak Binaan ngamen bersama
Mereka tidur seadanya.
Di kolong jembatan Jl Perdana, dan kolong jembatan Jl Raden Saleh; di pendopo
Lapangan Merdeka, di emperan-emperan toko di inti kota, di gedung-gedung tua
sekitar LapanganMerdeka, atau di seputar patung Jenderal Ahmad Yani Taman di depan
RS Elisabet. Ada yang tiduran seadanya di seputaran lampu merah Simpang
Pringgan, seputran lampu merah Simpang Pos Padang Bulan, di seputaran bundaran
Golden Petisah, atau di sekitar pemukiman kumuh (slumb) di sepanjang rel kereta api
Jl. Thamrin- Jl. Pandu. Tapi
sebagian lagi mereka pulang ke rumah orangtuanya atau walinya. Sebagian mereka di drop oleh orang tertentu dari
pinggiran kota Medan.
Anjal
dengan beca barangnya memulung Anjal
memulung dengan naik sepeda
Seorang anak binaan menghitung penghasilan Marihot
dgn 3 orang anaknya (istri & 2 orang anaknya
tdk kelihatan) hidup dan membesarkan anaknya
di atas beca barangnya
Jadi boleh kita identifikasi
bahwa yang digolongkan Anjal adalah :
1).
Anak yang hidup di jalanan dari usia 1-17 tahun, baik bersama orang dewasa,
maupun pribadi
2). Anak-anak yang mengamen di perempatan lampu
merah
3).
Anak-anak yang mengemis di jalanan, baik dengan berdiri dan menadahkan tangan,
maupun dengan cara “ngesot” sambil
menadahkan tangan
4).
Anak-anak yang jualan koran, mengelap mobil di jalanan, menyemir sepatu; jual
jajanan lainnya
5).
Anak yang menjadi “supir” untuk
menuntun orang dewasa baik laki-laki atau perempuan yang buta, termasuk buta
ecek-ecek;
6).
Anak-anak yang “jual darah”, bukan
donor darah.
7). Anak-anak pemulung
yang hidup di jalanan, atau tinggal di kolong jembatan.
Apakah mereka penyakit sosial yang perlu
dibasmi ?. Karena itu mereka menjadi sasaran uberan Tim Penertiban Pemko.
Payung hukumnya dibuatlah perda yang melarang masyarakat memberi kepada mereka.
Ironis, memang. Di saat mereka bergumul
untuk sesuap nasi, mereka dipandang dan diperlakukan kurang manusiawi.
Anak-anak
jalanan sering kali jadi korban. Apakah dijadikan
sebagai kurir bahkan korban narkoba, dilibatkan dalam semacam geng
pencurian/pencopetan, korban sodomi.Bahkan sebagian besar anjal ini korban “ngelem” sehingga badannya kurus
kering. Anak-anak kecil menjadi korban
eksploitasi orangtua/orang dewasa. Ada banyak anak-anak kecil “disewa” oleh orang dewasa untuk dibawa
mengemis. Tujuannya tentu supaya masyarakat lebih menaruh iba, dan memberi
sedekah. Supaya anak ini tidak rewel , mengingat panas yang menyengat, maka
seringkali anak kecil yang digendong itu diberi
makan obat tidur secukupnya. Maka pulaslah ia sepanjang hari.
Anjal
lagi asyik “ngelem” Seorang
Anjal tertidur di jalanan
Siti &
Rokayah,sering “nyari” di keramaian Daniel Mogen, anjal “berpos“ di Lapangan
Merdeka
Sekitar
RS Elisabet, Medan
Mereka mengemis di
siang hari. Malam pun mereka berkeliaran. Kalau mereka ditangkap Tim Penertiban
untuk “dibina” , sebentar kemudian
sudah nongol lagi di jalanan. Entah jalanya yang koyak, atau tempat
pemeliharaan ikannya yang sengaja dibuat buka tutup- buka tutup; mari kita
tanya kepada rumput yang bergoyang. Tempat-tempat rehabilitasi, maupun pusat
pelatihan keterampilan remaja milik pemerintah, belum mampu menjawab persoalan
yang ada. Karena pertambahan Anjal setiap tahun melebihi kemampuan pemerintah
menanggulanginya. Sehingga dibutuhkan insiatif masyarakat, atau lembaga untuk
mengambil bagian dalam masalah itu.
Tapi yang pasti, para
Anjal ini adalah insan ciptaan Tuhan yang harus dipulihkan harkat dan
martabatnya. Mereka perlu diberdayakan. Mereka butuh pencerahan. Bukan dibenci,
atau dicap negatif. Tapi butuh kepedulian kita semua. Bukan hanya bergumam,” ah kasihan sekali mereka…” Tapi mari
kita singsingkan lengan baju, raihlah tangan mereka yang sedang
menggapai-gapai, sebelum tenggelam disedot bumi. Mereka ingin diselamatkan,
dipulihkan, dan diberdayakan hidupnya.
2.APA
YANG KITA LAKUKAN
Lembaga Cahaya Fajar
(LCF) sudah lebih dua tahun terjun dalam pelayanan gepeng (komunitas kolong
jembatan) ini. Sebenarnya Anjal ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
komunitas Gepeng (Gelandangan Pengemis). Kami sudah akrab dan bersahabat dengan
mereka. Dari awal kami punya target.
Setiap keluarga yang siap dibina dan
dimuridkan untuk dipulihkan, maka orang/keluarga tersebut harus siap pindah
dari kolong jembatan. Mereka disiapkan rumah sewa satu tahun di Gg Seroja Pasar
IV, kawasan Tanjung Sari Medan, atau di
Simpang Kongsi, Pancurbatu . Diberikan satu unit beca barang sepeda, dan 2 ekor
anak babi untuk diasuh.
Setelah kami melihat
keberhasilan recovery untuk keluarga gelandangan, rasanya kita tidak adil dan
kurang sukacita kalau komunitas Anjal ini tidak dilayani juga. Sebab anak-anak ini
adalah harapan bangsa, dan juga gereja. Kalau kita menginginkan ke depan
masyarakat kita maju,sejahtera, adil dan nyaman, maka anak-anak ini juga harus diberdayakan.
Sebab kalau tidak, mereka kelak akan menjadi “penyakit” yang menggerogoti
masyarakat. Karena itu, kami ingin mengambil bagian dalam menolong, membimbing,
mencerahkan kehidupan para Anjal ini sebagai bagian dari pengabdian kepada
pemerintah, dan terutama kepada panggilan Tuhan.Menyingsingkan lengan baju,
berani berkeringat, bergerak cepat berpacu dengan waktu untuk melakukan
recovery bagi mereka.
3.
Beberapa Metode Pelayanan
1). Rumah Singgah Warna (RSW)
Sasaran
Model Pemberdayaan Lembaga Cahaya Fajar (LCF) yang mendirikan Rumah Singgah
Warna (RSW) ini difokuskan kepada para Anjal yang benar-benar memiliki
kerinduan yang besar untuk merubah hidupnya. Dan itu kita amati dari bagaimana
keseharian mereka yang gigih dan ulet. Tentunya banyak yang siap ,tapi ada juga
yang tidak. Memang tidak mungkin kita berdayakan mereka sekaligus. Biarlah
sedikit demi sedikit dan bertahap. Kalau bisa ada 20 orang per tahun. Sesuai dana
yang tersedia, kami dari RSW juga harus banyak belajar, mengevaluasi, dan
mengkaji terobosan-terobosan model baru dalam pemberdayaan Anjal ini. Dengan
begitu efektitas dan efisiensi pelaksanaan program terjamin. Sebab semuanya
untuk kemulian Tuhan.
Visi : Menjangkau, memuridkan,
memberdayakan Anak binaan untuk kemuliaan
Tuhan
Misi :1. Menjangkau dan menjadi sahabat
bagi Anak Jalanan sebanyak-banyaknya
2. Memuridkan Anak-anak binaan untuk melakukan
nilai-nilai hidup baru
3. Memberdayakan Anak-anak binaan untuk
ketrampilan hidup (life skill)
Yang memungkinkan mereka tidak hidup di
jalanan lagi
Tujuan : 1. Memulihkan dan mewarnai hidup anak
binaan agar indah di mata Tuhan
2. Menjadi sahabat yang mengasihi dan mengayomi anak binaan
3. Memberdayakan segala talenta, agar mereka
tidak hidup di jalanan lagi
4.
Membimbing dan melatih anak binaan agar memiliki nilai hidup yang ulet, suka bekerja
keras, jujur, sopan santun, bertanggungjawab, setiakawan ,
dan
memiliki sikap pengasih.
Program Kerja
2010-2011
1. Pembinaan
Rohani & Moral
1).Persekutuan membangun
rohani/moral dilakukan setiap Jumat Pkl 17-18 WIB
2). Konseling Pastoral secara
pribadi atas problem yang mereka hadapi
3). Retreat atau tamasya bersama
untuk membangun keakraban
4).Membimbing, melatih dan
menanamkan pola hidup bersih dan sehat
5). Membimbing, melatih dan
menanamkan pola hidup sopan santun dan hormat,
disiplin, dan jujur.
6).Menjalin
kerjasama dengan lembaga lain untuk menangani rehabilitasi anak-anak binaan yang sudah kecanduan
narkoba/psikotropika dan zat adiktif lainnya
2. Pembinaan
Keterampilan
(Life
Skill)
1). Membangun kebersamaan dan kerja
sama melalui latihan musik bersama setiap
Jumaat Pukul 16-18 WIB. Sekaligus mempersipkan mereka untuk tampil pada
Acara-acara tertentu
2). Menyelenggarakan
kegiatan/aktivitas yang bernilai untuk penyadaran, pendidikan dan pelatihan sesuai talenta dan bakat
anak-anak binaan
3). Mengusahakan subsidi/beasiswa
kepada anak-anak binaan yang kesulitan dana
Pendidikan
4). Bekerjasama dengan lembaga lain
yang bergerak di bidang PKBM
untuk menolong anak-anak binaan ikut peserta Paket A,B,C
5). Melatiah dan mengembangkan UKM ,
dan mikro financing
3. Target
1). Ada 20-an anak yang berkomitmen,
dengan rentang usia 6-17 thn
2). 2 Kelompok pemusik yang solid
3). Tersedianya alat-alat music yang
dibutuhkan :
a. 10 unit gitar klasik
b. 10 unit gitar keroncong
c. 2 unit keyboard Yamaha E 413
d. 2 unit Guitar Biola
e. 2 unit Drum akuistik
f. 5 unit harmonica
g. 2 unit speaker aktif utk keryboard
h. Seperangkat drum merek Yamaha
i. 5 unit perangkat computer
j. Baju seragam 2 pasang untuk setiap anak
Dua
relawan RSW Anak
“punk” latihan music Band RSW lagi Show
Pendekatan Yang
dilakukan
Puji Tuhan , dalam pelayanan
di RSW ini kami sejak awal sudah punya Tim 6 orang; yakni (pengurus), Pdt Albet
Saragih, Dra Elida Br Tarigan, Yetti Saragih STh sementara relawannya;Murni
Lidia Pasaribu STh, Erman Saragih, serta
Angel br Purba . Para relawan ini bergaul dan bersahabat akrab dengan mereka.
Mereka sering kali mengamen bersama. Kadang sore hari, dan lebih sering di malam
Minggu. Hasilnya dibagi bersama. Mereka
lebih dulu sudah latihan music dan lagu-lagunya di RSW. Secara rutin, relawan
juga menjadwal untuk membawa anak-anak ke studio music
untuk bermain band secara lengkap. Mereka sangat sukacita. Di tempat ini mereka
didorong untuk punya impian menjadi pemain band atau penyanyi yang handal dan
tersohor seperti Klanting, pemenang Indonesia Mencari Bakat.
Kami juga memperhatikan
secara mendalam kehidupan pribadi mereka. Ternyata sering kali anak-anak ini
terpaksa makan hanya sekali sehari. Itu pun setelah dapat uang dari mengamen.
Soalnya, pendapatanya sehari sebelumnya tidak mencukupi. Tapi ada juga di
antara anak yang punya kewajiban harus setiap hari menyetor uang belanja kepada
orangtuanya atau walinya. Pilu rasanya hati ini mendengar keluhan mereka ada
yang belum sarapan pagi, belum atau makan siang, padahal sudah pukul 15.oo WIB.
Itu sebabnya, kami mencoba mengusahakan
ada stok beras, sekalipun beras bulog, ada di RSW. Supaya sewaktu-waktu
bisa dimasak bersama. Lauknya bisa Indomie campur telor. Jadi bisa mereka makan
bersama .
Selain itu, kami juga
menjadwal setiap Jumat pukul 17.oo-18.oo WIB, anak-anak wajib ikut ibadah
bersama . Diupayakan dengan
metode pelayanan yang kreatif agar tidak membosankan, waktunya cukup sejam
saja. Selebihnya anak-anak yang punya masalah, bisa Konseling Pastoral dengan
para relawan, atau dengan 2 orang mahasiswa tingkat akhir dari STT Paulus (Desy
dan Elisabet Haloho) yang belakangan bergabung karena tertarik dengan pelayanan
ini. Kegiatan ini ditutup dengan makan gorengan bersama.
Setiap Sabtu Pukul
16.oo-18.oo adalah waktu latihan music bersama. Anak-anak
berlatih music, berlatih lagu-lagu yang akan ditampilkan. Bagi yang belum tahu
music akan dilatih. Ada latihan vocal. Berlatih lagu rohani untuk persiapan
tampil pada cara-acara gereja atau lembaga lainnya yang berbau kristiani.
Kegiatan ini ini ditutup dengan makan bersama. Biasanya mereka dibelikan nasi
bungkus serba enam ribu .
Sejak mereka masuk
dalam model pemberdayaan ini, kami dari pihak LCF berkomitmen, akan terus
memberikan pendampingan, bimbingan rohani dan jasmani, serta memberikan advokasi
apabila diperlukan hingga mereka mulai bisa mandiri. Para anak binaan siang hari mereka boleh datang dan istirahat
di Rumah Singgah Warna yang beralamat di Jl. Ngumban Surbakti No.36
b, Simpang Pos Padang Bulan, Medan. Juga bagi anak-anak yang tidak ada tempat
tinggal, rumah singgah adalah tempat menginap yang nyaman buat mereka.
Kami menjadwal pembinaan untuk mereka. Lingkupnya,
bina rohani/watak, bina jasmani, dan skill of life. Kami juga berkomitmen melakukan semua ini
dengan akuntabilitas yang sebaik-baiknya, demi menjaga kepercayaan para
pendonasi, dan terutama untuk kemulian Tuhan.
2. Sanggar
Alang-alang
KOMPAS.com - Di mata Didit Hari Purnomo (52), pendidikan harus bisa
diakses oleh siapa pun, bahkan oleh anak-anak usia belasan tahun yang tak
pernah mengenal arti ”rumah” dan kasih sayang. Kesadaran ini memantiknya untuk
membentuk Sanggar Alang-Alang, tempat ratusan anak jalanan di Kota Surabaya
belajar tentang kehidupan.
Sejak berdiri 16 April 1999, Sanggar
Alang-Alang (SAA) tetap setia pada tujuan awal, yakni menyediakan pendidikan
gratis untuk anak-anak jalanan. Di SAA, anak jalanan disebut dengan anak
negeri.
SAA menjadi rumah tempat makanan,
seragam, ruang belajar, dan ruang bermain cuma-cuma bagi mereka. Didit menyebut
SAA sebagai pendidikan berbasis keluarga.
Di sanggar, Didit menjadi bapak.
Istrinya, Budha Ersa, sebagai mama. Sebanyak 187 anak usia 6-17 tahun di SAA
adalah bagian dari keluarga besar. Untuk menggantikan biaya sumbangan pembinaan
pendidikan (SPP), Didit hanya menuntut satu hal dari anak-anaknya, yakni
bersikap sopan.
Setiap masuk sanggar, anak-anak
selalu dalam kondisi bersih. Mereka menyalami dan memeluk satu sama lain dan
menghindari kata-kata kasar dan jorok. Bagi Didit, ini bagian dari pendidikan
perilaku.
”Jika setiap hari selama sebelas
tahun, seorang anak jalanan bisa diajar berperilaku sopan, tentu perilakunya
akan berubah,” ujar pensiunan pegawai TVRI ini.
Pendidikan perilaku hanya satu dari
pelajaran yang diajarkan di SAA. Meskipun Matematika diajarkan, SAA
menitikberatkan pada ilmu-ilmu praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan
anak jalanan.
”Belajar bukan hanya teori,
melainkan soal implementasi. Ini yang dibutuhkan anak jalanan agar tidak
kembali ke jalan,” katanya.
Hingga kini, setidaknya empat
program sudah dijalankan, yakni bimbingan belajar anak sekolah dan putus
sekolah, bimbingan anak berbakat, bimbingan anak perempuan rawan, dan bimbingan
ibu dan anak negeri.
Pendidikan praktis
Keempat program ini difokuskan pada pengetahuan
praktis. Misalnya saja, bimbingan anak perempuan rawan yang ditujukan untuk
anak jalanan perempuan dan pekerja rumah tangga.
Setiap tiga hari dalam seminggu, tim
SAA menyambangi anak jalanan untuk mengajari mereka tentang kesehatan
reproduksi, cara membela diri, dan cara melaporkan kepada polisi jika
dilecehkan secara seksual.
Lain lagi dengan program Bimbingan
Ibu dan Anak Negeri (BIAN). Program ini lahir setelah Didit melihat realitas di
lapangan yang keras dan suram. Kemiskinan dan kebodohan telah merenggangkan
hubungan orangtua dan anak. Imbasnya, keluarga terpecah, anak-anak pun lari ke
jalanan.
Banyak anak yang dieksploitasi oleh
orangtuanya untuk bekerja di jalanan. Dalam kaitan ini, BIAN ditujukan untuk
anak usia taman kanak-kanak dan ibunya.
Sebagai pengganti kursi, anak-anak
duduk di pangkuan ibundanya. Dengan demikian, bukan hanya anak yang belajar,
ibu juga belajar meluangkan waktu untuk anaknya.
”Kami berharap, dengan demikian tak
ada lagi ibu yang menyuruh anaknya mencari uang di jalan,” kata Didit.
Di luar kelas, anak-anak bisa
berlatih alat musik, tari, dan juga tinju. Mereka yang berbakat akan diikutkan
kejuaraan tingkat daerah, bahkan nasional. Jika sudah berusia 18 tahun, mereka
harus meninggalkan sanggar dan memulai kehidupannya sendiri.
”Jika mereka kembali ke jalan,
artinya mereka tidak lulus. Kalau tidak, berarti lulus,” kata Didit.
Pemerintah Kota Surabaya juga
mengapresiasi langkah Didit. Apalagi, program rumah singgah Dinas Sosial lebih
banyak gagalnya. Program yang dibuat lembaga swadaya masyarakat pun hanya
berjalan ketika ada dana.
”Selama
ini anak jalanan hanya jadi obyek proyek LSM, sementara miliaran rupiah untuk
rumah singgah terbuang percuma,” kata Didit.
SAA juga menjadi rujukan bagi
mahasiswa dan dosen yang meneliti metode pendidikan anak jalanan.
Kasih sayang
Bertahan 11 tahun, Didit menyebut satu
kunci keberhasilannya. ”Kasih sayang,” kata kakek satu cucu ini.
Kasih sayang adalah pendidikan hidup
yang terenggut dari kehidupan anak jalanan. Mereka dialpakan dan dianggap
sampah masyarakat. Penilaian ini bagi Didit salah besar. Dia membuktikannya 11
tahun lalu ketika menyambangi Terminal
Joyoboyo, tempat berkumpul anak jalanan.
Di balik penampilan anak-anak yang kumuh dan kotor,
tersimpan jiwa anak-anak yang mendamba rumah dan perhatian. Jika didekati
baik-baik, mereka akan membuka diri.
Hati Didit tergugah melihat
anak-anak yang menggelandang sejak kecil. Ada juga anak-anak dari tukang cuci,
tukang becak, pencopet, dan kernet bus yang tak pernah diperhatikan.
Di balik toilet Terminal Joyoboyo
itulah perjumpaan pertamanya dengan dunia anak jalanan. Pelan tapi pasti,
pertemanan mereka terajut, dan setiap malam Didit mulai mengajari banyak hal.
Banyak orang menamai mereka ”komunitas sekolah malam”.
Setahun lebih kegiatan itu berjalan
hanya bermodalkan niat baik dan sebagian gaji Didit. Barulah tahun 1999, berkat
derma dari orangtua murid Surabaya International School, Didit mendapat
sumbangan Rp 5 juta. Uang itu dia gunakan untuk mengontrak rumah dua tahun di
belakang Terminal Joyoboyo.
Untuk menyokong kehidupan anak-anak,
SAA bergantung pada donasi pengusaha. Namun, kini SAA memiliki pendapatan
dengan mengisi acara musik dan tari di sekolah.
Yang paling membanggakan bagi Didit,
beberapa alumni SAA berhasil berdikari. Adi Hartono, misalnya, diterima di
Universitas Negeri Surabaya lewat jalur prestasi. Adi yang enam tahun tinggal
di SAA hanya mengikuti kejar paket A dan B, kemudian mendaftar ke sekolah
menengah kejuruan.
”Adi yang sebelumnya anak jalanan
bisa diterima di pendidikan formal. Saya senang luar biasa,” kata Didit.
Ada lagi, Mu’ad (18). Dua tahun
lalu, Kompas bertemu Mu’ad yang mengaku tidak pernah mengenyam pendidikan
formal. Dia buta huruf hingga usia 16 tahun. Namun, kini Mu’ad menjelma menjadi
pemuda percaya diri yang terampil menggunakan komputer.
Didit selalu mengibaratkan anak
jalanan seperti alang-alang, Dia kian optimistis, alang-alang binaannya
memiliki tempat sendiri di masyaraka
3) Kampung Belajar
KOMPAS.com - Persoalan angka putus sekolah tinggi di daerah pelosok
tidak bisa diatasi semata dengan mendekatkan sekolah atau membebaskan biaya
pendidikan. Perlu penyadaran kultur lewat strategi pendekatan pendidikan
nonformal yang persuasif-atraktif.
Atas alasan inilah kemudian Roni
Tabroni (31) bersama rekan-rekannya para relawan mendirikan Kampung Belajar di
wilayah-wilayah pelosok di Jawa Barat. Sekilas, Kampung Belajar ini tidak
ubahnya taman bacaan yang ada di desa. Tetapi, sebetulnya tidaklah sesederhana
itu.
Taman bacaan hanyalah pintu masuknya
supaya anak-anak dan ibu-ibu serta warga setempat tertarik untuk mau belajar
dan mengembangkan dirinya, ungkap Roni, yang sehari-hari berprofesi sebagai
dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD), Bandung, Jawa
Barat.
Kampung Belajar tepatnya adalah
pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Di dalamnya terdapat sekaligus
kegiatan kepustakaan, pendampingan belajar, pemberantasan buta huruf latin dan
Al Quran, hingga pembekalan keterampilan bagi ibu-ibu rumah tangga.
Sejak pertama berdiri awal 2008 di
Desa Mandalasari, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Kampung Belajar
dalam waktu singkat direplikasi dan berdiri di tiga daerah lainnya, yaitu
Sukahening dan Sukaraja di Tasikmalaya, serta Cibingbin di Kuningan.
Dalam waktu singkat pula, keberadaan
Kampung Belajar mampu menyedot animo masyarakat sekitar, anggotanya kini
mencapai ribuan orang. Setiap muncul buku-buku baru, mesti itu laris dipinjam.
Buku-buku koleksinya pun terus bertambah, kini mencapai lebih dari 4.000 buah.
Gratis
Untuk mendaftar jadi anggota ataupun
menyewa, pengunjung tidak dimintai pungutan sepeser pun. "Mereka mau
datang saja sudah bagus. Tidak perlu kami membebani lebih," tuturnya.
Adalah sebuah kebahagiaan baginya
melihat anak-anak di desa terpencil ini kembali bersemangat belajar. Di wilayah
terpencil, mayoritas anak-anak usia 6-15 tahun telah putus sekolah.
Kondisi orang-orang tua tidak kalah
menyedihkan, banyak yang buta huruf. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan
kebodohan dan kemiskinan.
"Di sini, anak perempuan,
keluar dari SD, harus siap putus sekolah, lalu jadi TKW. Sementara, anak
laki-laki lebih banyak diminta membantu di ladang. Ini tidak bisa mudah begitu
saja diintervensi", ungkapnya.
Yang membuatnya sedih, tidak jarang
anak-anak usia SMP ini ditolak saat mendaftar sekolah karena ternyata belum
mahir calistung (baca, tulis, dan menghitung). Banyak dari mereka yang tidak pede
kembali ke sekolah sehingga akhirnya pilih jadi buruh dan TKW, tuturnya
menunjuk kondisi di Cipatat.
Membuat supaya anak-anak ini mau
berkunjung ke Kampung Belajar, awalnya juga tidak mudah. Untuk menarik mereka
datang, dibantu para relawan, Roni punya pendekatan yang unik. Misalnya, ketika
liburan sekolah tiba, mereka mengadakan permainan grup, outbound, botram
(makan bareng), hingga pemutaran film-film mendidik dan menyenangkan.
Lain lagi strategi untuk mengundang
ibu-ibu buta huruf agar dengan senang hati belajar calistung. "Biasanya,
kami kemas dengan acara keterampilan, misalnya, bikin kue. Dari sini, kan,
muncul resep, misal, butuh terigu satu kilo. Nah, dari sini, mereka pelan-pelan
tanpa sadar belajar membaca dan mengenal angka", ungkap Roni.
Para relawan yang dibebani mengajar
bukan sembarang tutor. Mereka sebelumnya telah dibekali dengan pendidikan dan
pelatihan dengan metode ACM (aku cepat membaca) yang telah dikembangkan
sejumlah pakar pendidikan. Sementara, untuk memberantas buta huruf Arab,
digunakan metode Al-Barqi dengan proyeksi dalam delapan jam sudah bisa membaca.
Relawan-relawan
Kampung Belajar mengandalkan
relawan-relawan di dalam operasional kegiatannya. Tutor, pengajar, hingga
penjaga taman bacaan berasal dari berbagai unsur, baik mahasiswa dari UIN Sunan
Gunung Djati maupun guru dan pelajar di desa setempat. Namun, jumlahnya saat
ini hanya 10 relawan.
Dengan dikelola oleh unsur warga
setempat, akseptansi masyarakat diharapkan lebih tinggi. Di Kuningan, misalnya,
relawan penjaga taman bacaan adalah seorang pelajar kelas dua SMP.
"Soalnya, di sana, anak SMP ini
yang paling tinggi sekolahnya, dibandingkan lainnya"", katanya.
Roni bercerita, Kampung Belajar
merupakan bagian dari program TEPAS Institute, sebuah organisasi pemberdayaan
masyarakat yang diikutinya. "Kebetulan, oleh TEPAS, saya ini kebagian
tugas di wilayah Bandung Barat. Ketika melihat kondisi di sana, saya berpikir,
warga membutuhkan hal yang nyata", paparnya.
Namun, kemudian, banyak pihak yang
bertanya-tanya, dari mana Roni dan Kampung Belajar bisa mendapatkan banyak
koleksi buku dalam waktu singkat, padahal tanpa memungut bayaran dari warga.
"Ini didapat dari donatur dan
kerja keras", jawab Roni.
Ia mengembangkan jaringan dengan
organisasi-organisasi sosial, badan perpustakaan daerah, termasuk penerbit
buku, untuk bisa mendapatkan sumbangan buku. Para relawan, khususnya mahasiswa,
juga digerakkan untuk mengumpulkan buku-buku di kampus.
Namun, ujar Roni, tidak jarang pula
pihaknya melakukan jemput bola, meminta sumbangan buku. Bahkan, pernah ia
menyelamatkan buku yang nyaris dibuat bubur kertas.
Internet
Kini, pencarian donatur buku bahkan
sudah dikembangkan jauh, yaitu melalui media internet. Situs jejaring sosial Facebook
digunakan, termasuk laman (website) www.kampungbelajar.com.
Dalam dua tahun terakhir, minat
membaca warga di lokasi Kampung Belajar terus meningkat. Sayangnya, pihaknya
tidak bisa setiap saat menambah dan memperbarui koleksi.
"Padahal, meskipun sudah lecek,
cetakannya lama, asalkan masih terbilang keluaran baru seperti novel Laskar
Pelangi, mesti habis dipinjam", ungkapnya.
Namun, repotnya, karena tidak
memberlakukan pola pendaftaran anggota secara ketat, terkadang, buku ini lama
dipinjam, tidak dikembalikan. "Anggap saja sedang keliling-keliling, suatu
hari nanti kembali sendiri kok. Mereka, kan, sadar, warga lainnya juga
sama-sama butuh", ucapnya tersenyum.
Dia mengharapkan, warga perkotaan
yang jauh lebih beruntung mau peduli terhadap pendidikan di daerah pelosok.
Paling tidak, dengan turut berpartisipasi menyumbang buku bacaan bekas. Sedikit,
tapi amat berarti buat mereka. (diunduh 13 April 2010; 10:30 WIB)
Anto,
sekeluarga gelandangan sering “jual darah” Penulis akrab dengan anjal di kolong
jembatan
*Tulisan ini disampaikan dalam Pelatihan Pelayanan Anak Jalanan di Yayasan Penginjilan
dan Persekutuan Doa (YPDPA) Medan, Minggu 3 Juli 2011.
**Penulis adalah perintis dan
gembala sidang di Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia (GPIBI) Syalom di
Pancurbatu, Koserna, dan Jambi. Merintis dan memimpin Lembaga Cahaya Fajar yang
membuka pelayanan Recovery untuk pemulung dan gelandangan di Kota Medan,
sekaligus merintis dan memimpin Rumah Singgah Warna di Simpang Pos Pd. Bulan
Medan. Sehari-hari penulis adalah guru PAK SMAN 1 Pancurbatu. Sebagai dosen di
STT Paulus, Medan, dan Ketua Prodi PAK di STTSU Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar