Pola
Asuh Kristen :
Suatu Kajian
Teologi, Pedagogi, Metodologi Dan Implementasinya Di
Sekolah
Albet Saragih
Abstrak
Pola asuh Kristen
adalah style hidup orang percaya. Pola itu sendiri sudah teruji
menjadi berkat bagi umat Allah, baik masa PL maupun kekristenan mula-mula. Pola
asuh yang alkitabiah ini tidak pernah usang. Di tengah zaman yang serba canggih
sekarang ini, ada banyak nilai-nilai pola asuh kristiani itu semakin
ditinggalkan, digantikan pola asuh modern yang sekuler seperti materialis,
individualis, pragmatis, dsb. Sekolah-sekolah Kristen , sebagai wahana pendidikan, pengajaran, dan pengasuhan
kristiani, menghadapi tantangan itu
secara masiv. Sekolah Kristen dituntut tetap teguh akan jati dirinya sebagai
lembaga yang menyiapkan dan memelihara umat pilihan Tuhan. Karena itu,
sekolah-sekolah kristiani senantiasa dengan konsisten memelihara dan
mengembangkan serta menerapkan pola asuh secara kristiani baik secara teologi,
pedagogi, dan metodologinya. Serta melakukan berbagai kajian dan terobosan dan
konteks tersebut.
Kata kunci : Pola
Asuhan Kristen, Kajian Teologi, Pedagogi, Metodologi
Pendahuluan
Indonesia saat
ini, menurut berbagai kalangan, mengalami kemerosotan di berbagai dimensi. Dan
merupakan persoalan krusial yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini menurut
Bungaran Antonius Simanjuntak, Guru besar Antropologi Universitas Negeri Medan[1].
Kemerosotan-kemerosotan di berbagai dimensi kehidupan ini, adalah salah satu
dampak langsung ataupun tidak langsung dari kemerosotan kualitas pendidikan
beberapa dasawarsa terakhir ini.
Kekristenan
adalah bagian melekat di dalam bingkai berbangsa dan bernegara Indonesia.
Karenanya, orang-orang Kristen juga tidak luput ikut serta sebagai penyebab
dari kemerosotan-kemerosotan tersebut. Apa yang seharusnya menjadi panggilannya
untuk menjadi garam dan terang dunia sebagai makin terabaikan.
Salah satu
sumber penyebab dari kemerosotan itu adalah pada karakter kristiani yang belum
dapat disumbangkan secara signifikan oleh dunia Pendidikan Agama Kristen.
Sebagai sumber pembentukan, pelestarian dan pembaruan budaya masyarakat,
sekolah-sekolah Kristen dari Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) hingga Perguruan
Tinggi (PT) seyogianya menjadi salah satu wadah pembentuk karakter kristiani
untuk mentransformasi budaya bangsa ke arah yang lebih baik, lebih maju, lebih
beradab dan sejahtera berkemakmuran. Namun tak dinyana, gejala penyakit
masyarakat Indonesia seperti KKN, aji mumpung, menghalalkan segala cara demi
tujuan, dan suka menyogok, enggan bekerja keras, tamak, konsumeris, perjudian,
percabulan, serta tindakan tak bermoral lainnya juga melanda warga kristiani.
Pertanyaannya
adalah, apa yang salah pada sekolah-sekolah Kristen? Bukankah sudah teruji
dalam sejarah bahwa sekolah-sekolah Kristen di masa lalu, dikelola dengan hati penuh pengabdian, mampu
menghasilkan lulusan-lulusan bermutu tinggi sehingga dapat mengisi formasi
jabatan-jabatan penting di negara ini.
Menurut
Yudhistira ANM Massardi: ”Tantangan abad ke-21 dan generasi 2045 (menandai 100
tahun Proklamasi Kemerdekaan) adalah membangun manusia bebas yang berkeahlian
sesuai minat dan kemampuan individual (era inteligensia). Pendidikan menuju
masa depan adalah pendidikan yang membebaskan, membuka pintu bagi anak didik
agar bisa mewujudkan cita-cita sesuai minat dan bakat masing-masing. Mereka
akan menjadi pribadi mandiri yang siap saling berkolaborasi[2].
Bagaimanakah orangtua Kristen memiliki pola asuh dalam mengasuh anaknya di era
persaingan global ini? Dimanakah
implikasi buah-buah dari pola
asuh kristiani yang didapatkan selama ini? Tidakkah berbuah asuh kristiani yang
tersosialisasi di tengah-tengah keluarga dan Pendidikan Agama Kristen
selama ini?
Menurut Jongkers
Tampubolon, Rektor Universitas HKBP Nomensen Medan dalam suatu acara wisuda di
kampusnya, para alumni Sekolah Kristen,
ditantang untuk memberi kontribusi bagi perbaikan sistem pendidikan di negeri
ini, yang saat ini menjadi sorotan karena semakin kehilangan karakter dan
bahkan menurut berbagai kalangan pendidikan kita sedang dalam krisis peran,
krisis fokus, krisis kurikulum, krisis proses, dan krisis visi. Dunia
pendidikan kita saat ini, menurutnya, menjadi objek kepentingan politik[3]
Arthur F. Holmes
dalam Thomas H. Groome menyatakan: “Sekolah Kristen terpanggil untuk melengkapi
anak didik”[4]
Bahwa pendidikan baik di
tengah-tengah keluarga maupun di Sekolah
Kristen merupakan panggilan terhadap sosialisasi nilai-nilai kristiani
dalam rangka kedewasaan dan kemandirian anak-anak. Untuk itu, sekolah-sekolah Kristen harus dikelola dengan manajeman modern berbasis kontekstual, di
mana para pendidik dan nara didiknya diasuh dengan kasih yang tulus,lemah
lembut, berlandaskan Firman Tuhan,
cermat, dan bijaksana.
Demikian halnya guru-guru di
sekolah-sekolah Kristen memiliki pola asuh Kristen dalam mengasuh anak-anak
didiknya. Prinsip pola asuh Kristen itu juga mewarnai kebijakan-kebijakan dan
sikap perlakukan para yayasan atau pemimpin/ pengelola sekolah Kristen mengasuh
para staf tenaga kependidikan dan non kependidikannya. Sehingga semua komponen
bersinergi menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi; baik dalam IPTEK,
karakter, maupun semangat pengabdian.
Pendidikan Agama Kristen mempromosikan tujuannya yang
mengutamakan “pola asuh dan pembentukan
karakter orang-orang Kristen”. Pendidikan kristiani ini
menggunakan pendekatan progressive experiental (masalah-masalah
kehidupan) sebagai titik tolak. Pendidikan Agama Kristen kemudian menekankan
perlunya mentransmisikan warisan-warisan kristiani
sebagai muatan utama dalam pendidikan[5].
Adapun warisan–warisan kristiani yang dimaksud di antaranya menyangkut: iman, pengharapan, kasih,
serta karakter pengabdian sebagai hamba,
sama seperti teladan Tuhan Yesus .
Di sekolah Kristen, guru
tidak hanya menonjolkan fungsinya sebagai pengajar. Akan tetapi guru berperan
menjadi orangtua kedua bagi murid-murid untuk melakukan pola asuh Kristen
kepada mereka. Dalam hal ini, guru harus dapat memberikan pola asuh Kristen
yang tepat sesuai dengan perkembangan anak, agar dapat mewujudkan pola asuh
yang diberikan kepadanya dengan baik. Pola asuh guru akan mempengaruhi bagaimana
anak itu memandang, menilai, dan juga mengambil sikap terhadap orangtua, guru
dan masyarakat, serta mempengaruhi kualitas hubungan yang berkembang diantara
mereka.
Selanjutnya, dalam
ruang lingkup pendidikan kristiani, pola asuh guru
di sekolah Kristen dalam mendidik anak merupakan sebuah tanggung jawab iman yang harus dilakukan.
Sebab hal itu ada
kaitannya dengan perintah langsung
dari Allah kepada orangtua — dalam hal ini fungsi
guru sebagai orangtua kedua di sekolah.
”Kasihilah TUHAN,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau
perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu
dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang
dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” (Ul 6: 5-7). Dari nats di atas, ditekankan bahwa adalah kewajiban orangtua di rumah maupun guru di sekolah Kristen, untuk mendidik dan mengajar anak-anaknya dalam situasi apapun.
Kurangnya
pemahaman para pendidik terhadap urgensi masalah pola asuh Kristen sebagai
salah satu tiga fondasi Pendidikan Agama Kristen – pendidikan/ pengajaran,
pelatihan, pola asuh – menjadi penyebab terjadinya ketimpangan dalam Pendidikan
Agama Kristen dewasa ini.
Sekolah-sekolah Kristen secara serius mengupayakan pendidikan/ pengajaran
secara akademik berkualitas, yang dipadukan dengan pelatihan-pelatihan yang
terintegrasi. Kualifikasi akademik lulusan berusaha dijaga mutunya. Namun di
sisi lain, kualitas asuhan kristiani mereka sebagai lemah. Hampir tidak
ditemukan sesuatu yang spesifik dan menonjol pada pola asuh kristiani di
sekolah-sekolah Kristen bila dibandingkan dengan berbagai sekolah negeri dan
sekolah swasta nasional lainnya. Atau nilai-nilai karakter kristiani yang khas
dimiliki murid baru di sekolah-sekolah Kristen sebagai hasil dari pola asuh
kristiani dari orangtua. Secara pengamatan sepintas, masih kurang berpengaruh
signifikan pola asuh Kristen terhadap hasil studi peserta didik.
Pola
asuh guru terhadap anak-anak di sekolah Kristen, sebagai yang terabaikan. Hal
itu bersumber dari adanya pemahaman yang kurang tepat dari kalangan guru
sendiri. Seakan-akan hanya tugas utama
guru di sekolah Kristen hanya bertumpu untuk melakukan pendidikan/ pengajaran dan
pelatihan saja. Dan memang, tentang hal pola asuh ini tidak diatur Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, dimana dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa guru
profesional memiliki 4 kompetensi : meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi[6].
Secara eksplisit, di dalam kompetensi guru ini tidak
diatur dengan jelas tentang pola asuh yang perlu dilakukan guru di sekolah.
Bahwa kalau berbicara soal pola asuh, maka yang terbersit di benak pada umumnya
orang adalah apa yang dilakukan orangtua di rumah saja. Singkatnya, istilah
pola asuh selalu dikaitkan sekitar didikan orangtua dalam keluarga. Tetapi
sesungguhnya tidak demikian. Bahwa sebagai pengganti orangtua yang mendidik
anak di sekolah, guru tidak luput tanggung jawabnya juga dalam pola asuh.
Keprofesionalan guru tanpa dibarengi dengan semangat pola asuh sebagaimana
laiknya hati orangtua kepada anaknya, maka itu bisa diibaratkan seperti sayuran
yang banyak bumbu, tapi kurang garam. Rasanya hambar. Profesi keguruan menjadi
sebuah kegiatan yang bersifat mekanis saja.
Sekolah-sekolah Kristen
didirikan tidak lepas dari perwujudan panggilan untuk mewujudkan nilai-nilai
kristiani baik kepada anak didiknya, dan juga seluruh staf guru dan pegawainya.
Nilai-nilai kristiani seperti; takut
akan Tuhan, kejujuran, kebenaran, kasih , persekutuan, pengharapan, keadilan,
solidaritas, dan kesetaraan gender, tidak akan dapat begitu saja terwujud dalam
kehidupan para nara didik hanya sebatas profesional saja. Tapi karena hal-hal
di atas menyangkut kepada buah-buah keyakinan itu sendiri, maka pola asuh Kristen dari para pimpinan perguruan,
guru-guru maupun staf pegawai menjadi sangat urgen. Karena peserta didik
melihat guru, pegawai dan yayasan itu menjadi modelnya. Tapi juga
bagaimana mereka membangun atmosfir di mana benih-benih
nilai-nilai kristiani tersebut dari pengajaran/ pendidikan menuju pelatihan dan
selanjutnya menjadi habit (kebiasaan)
atau gaya hidup. Nah, atmosfir
pola asuh semacam inilah yang hampir hilang di sekolah-sekolah Kristen, tergerus karena pemahaman
pelaksanaan profesi keguruan yang bersifat mekanis semata.
Pola Asuh Kristen Kajian Teologi
Data tentang
kata asuh, pola asuh di dalam PL dan PB,
cukup banyak ditemukan. Data Alkitab [7]: Asuh: Yes 1:2, “Aku membesarkan anak-anak dan mengasuhnya, tetapi mereka memberontak terhadap Aku.
Membesarkan anak-anak: “Anak-anak yang dimaksud adalah umat Israel. Tuhan
memanggil langit dan bumi sebagai saksi
untuk dosa Israel [8].
Pola Asuh dalam
Perjanjian Lama
Dalam 2 Samuel 4:4, Yonatan, anak Saul,
mempunyai seorang anak laki-laki, yang cacat kakinya. Ia berumur lima tahun,
ketika datang kabar tentang Saul dan Yonatan dari Yizreel. Inang pola asuhnya mengangkat dia pada waktu
itu, lalu lari, tetapi karena terburu-buru larinya, anak itu jatuh dan menjadi
timpang. Ia bernama Mefiboset. Yes. 49:23: “Maka raja-raja akan menjadi pola asuhmu dan permaisuri-permaisuri
mereka menjadi inangmu. Mereka akan sujud kepadamu dengan mukanya sampai ke
tanah dan akan menjilat debu kakimu. Maka engkau akan mengetahui, bahwa Akulah
TUHAN, dan bahwa orang-orang yang menanti-nantikan Aku tidak akan mendapat
malu."
Prinsip Pemahaman Dasar
1. Menikah dan membesarkan anak-anak bagi kemuliaan Allah (Kej 2:24; 9:1,7; 1 Tim
5:14).
2. Anak-anak adalah berkat dari Allah, yang telah Dia perintahkan (Maz
127:3-5).
3. Orangtua
harus mengajar anak-anaknya dan
membesarkan mereka dalam nasihat Tuhan (Ul 4:9, 10; Maz 78:1-7).
4. Anak-anak harus mendengar dan
belajar untuk takut akan Tuhan Allah dan
memelihara setiap firman dan hukum (Ul 31:12,13; Maz 34:11; Ams 5:1,2; 6:20-23; 23:26).
5. Sama seperti melatih, mengajar dan
mendidik anak-anak, orangtua juga harus mendisiplinkan dan membetulkan
mereka apabila diperlukan.Ams 13:24; 19:18 ; 22:15;l 23:13-16
Ul. 6:4-9 menjadi sentral pengajaran
Pendidikan Agama Kristen. Kitab-kitab lain yang membahas tentang pendidikan
bersumber dari kitab Ulangan ini. Ayat 7: "Haruslah
engkau mengajarkan berulang-ulang "kepada anakmu" membicarakannya
apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan,
apabila engkau bangun.". Mereka yang mengasihi Allah, mengasihi Firman-Nya
dan melakukannya dengan meditasi, bertanggung jawab untuk merenungkannya dan
menyimpannya dalam hati untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua mempunyai
tugas untuk mengajarkan Firman-Nya kepada anak-anak dengan didikan dan harus
dimulai sejak dini dan berulang-ulang. Ayat 7 ini dipakai sebagai fondasi
kurikulum Pendidikan Agama Kristen.
Orang Yahudi mengerti perintah ini dan melakukannya secara harafiah. Umat
harus menghafal perkataan ini dan menunjukkannya di depan umum. Sebagian orang
Yahudi menaruh ayat-ayat ini di dalam kantung-kantung kulit yang kecil
(filakteria). Kantong ini diikatkan pada lengan dan dahi mereka[9].
Kantong atau kotak kulit yang berisi ayat-ayat Hukum Taurat ini disebut
“Mezuza”.
Harus mengajar anak-anak
Orang Kristen harus mengajar anak-anaknya
dan membesarkan mereka dalam nasihat Tuhan (Ul 4:9, 10; Maz 78:1-7). Harus
mengajar anak-anak di
setiap masa: menurut catatan Alkitab Penuntun tentang ayat ini: “ salah satu cara utama untuk
mengungkap kasih kepada Allah (ay 5) ialah mempedulikan kesejahteraan rohani
anak-anak dan berusaha menuntun mereka
kepada hubungan yang setia dengan Allah[10].
Di dalam
Ul 6:7 : “Haruslah engkau mengajarkannya
berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di
rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan
apabila engkau bangun.”
Frasa “mengajarkan
berulang-ulang” kata Ibrani yang dipakai dalam ayat ini adalah "shinnantam", yang berasal dari akar
kata "shanan" yang berarti
mengasah atau menajamkan, biasanya untuk pedang atau anak panah. Kata ini
dipakai sebagai simbol untuk menggambarkan kegiatan yang dilakukan
berulang-ulang seperti orang mengasah sesuatu pedang atau anak panah dengan
tujuan untuk menajamkannya. Orangtua tidak dapat hanya mengandalkan khotbah
atau pelajaran Alkitab setiap hari Minggu untuk memberi "makanan
rohani" dan menajamkan anak-anak
mereka. Orangtua maupun guru harus secara rutin dan dalam segala kesempatan
menyampaikan kebenaran firman Tuhan kepada anak-anak mereka. Lebih jauh lagi,
orangtua dan guru harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka, bukan
hanya melalui perkataan, tapi juga perbuatan
Lebih
jauh dijelaskan tentang urgensi pendidikan kepada anak dalam catatan dimaksud.
1. Pembinaan
rohani anak-anak seharusnya merupakan perhatian utama semua orangtua (bnd Maz
103:13).
2. Pengarahan
rohani harus berpusat di rumah, dan melibatkan ayah dan ibu. Pengabdian kepada
Allah di dalam rumah tangga wajib dilakukan; hal itu adalah perintah langsung
dari Tuhan (Ul 6:7-9; bnd 21:18; Kel 20:12; Im 20:9; Ams 1:8; 6:20; 2 Tim 1:5).
3. Tujuan dari
pengarahan oleh orangtua ialah mengajar anak- anak untuk takut akan Tuhan,
berjalan pada jalanNya, mengasihi dan menghargai Dia, serta melayani Dia dengan
segenap hati dan jiwa (Ul.10:12; Ef 6:4).
4. Orang
percaya harus dengan tekun memberikan kepada anak-anaknya pendidikan yang
berpusatkan Allah, dimana segala sesuatu dihubungkan dengan Allah dan
jalan-jalanNya (bnd Ul. 4:9; 11:19; 32:46; Kej 18:19; Kel 10:2; 12:26-27;
13:14-16; Yes 38:19)[11].
Dalam kerangka didikan, ajaran dan pelatihan inilah
harus ada di dalamnya asuh yang baik. Ibu-bapa akan berfungsi sebagai penjaga anak-anak, penopang dan pelindung
sehingga anak-itu menjadi dewasa dan bisa menjaga dirinya sendiri. Anak-anak harus mendengar dan belajar untuk takut
akan Tuhan Allah kita dan memelihara setiap firman dalam hukum (Ul 31:12,13;
Maz 34:11; Ams 5:1,2; 6:20-23; 23:26). Mereka bukan saja diajar dalam rumah
tetapi juga di perkumpulan
yang ditetapkan oleh Allah (Yos 8:35; Kel. 13:8-10, 14-16; Ul. 31:12).
Bagaimana cara dan sikap guru menginternalisasikan
nilai-nilai kristiani
melalui pola asuh yang diwujudkannya kepada para murid, itu akan menumbuh-suburkan
pengenalan dan pembentukan sikap-sikap perlakuan imannya dalam kehidupan
sehari-hari. Agar guru berhasil dalam panggilannya mengubah hidup para
muridnya, menarik untuk disimak apa yang dikemukakan oleh Howard G. Hendrik,
“Jika Anda hendak melayani menjadi guru, mintalah Allah terlebih dahulu
melayani Anda. Dia akan memakai Anda sebagai alat-Nya, agar semakin efektif di
tangan-Nya”[12]. Jadi penundukan diri seorang guru kepada
kuasa dan urapan Tuhan, begitu penting. Sebab sesungguhnya seorang guru harus
mengakui bahwa yang dapat mengubahkan hati muridnya bukan dirinya, melainkan
Tuhan Sang pemilik hidup itu sendiri. Tapi hal itu tidak berarti bahwa
kompetensi dan keteladanan guru tidak berpengaruh. Bahwa kedua komponen ini menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam mendidik dan mengasuh anak menuju perubahan
hidup.
Pola Asuh Kristen Dalam PB
Lukas 2:51-52
tertulis “Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia hidup
dalam asuh mereka. Dan ibu-Nya
menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya. Dan Yesus makin bertambah besar
dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan
manusia”. Frasa ”bertambah besar” pada ayat ini memberi pengertian dalam empat
hal : pertama, Dia bertambah “besar” –
pertumbuhan fisik; Kedua, Dia bertambah “hikmat-Nya“, “hikmat-Nya”; Ketiga, Dia
“makin dikasihi” oleh Allah” berarti
pertumbuhan rohani; dan keempat, Dia makin “dikasihi manusia“ berarti
pertumbuhan sosial dan emosional[13].
Menurut
pemahaman peneliti, frasa “bertambah hikmatNya” di sini mencakup pertumbuhan
otoritas dan penguasaan-Nya atas Firman Allah serta perkembangan intelektualNya, secara menusiawi. Kis 7:21 tertulis “Lalu ia dibuang, tetapi
puteri Firaun memungutnya dan menyuruh mengasuhnya
seperti anaknya sendiri.” Dalam Ef 5:29:
“Sebab tidak pernah orang membenci
tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan
merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat.” Mengasuh diterjemahkan dari Bahasa
Inggris “nourish”, bersumber dari Bahasa Yunani “ ektrepho”. Dalam 1 Tes 2:7
tertulis ”Tetapi kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya anak,
memberi tumpangan, membasuh kaki saudara-saudara seiman, menolong orang yang
hidup dalam kesesakan — pendeknya mereka yang telah menggunakan segala
kesempatan untuk berbuat baik.”
Mengasuh, Bahasa Inggris diterjemahkan “even as a nurse cherishets, dari kata
Yunani “trophos = pola asuh seorang
akan menyusu.
Di dalam catatan
Alkitab Edisi Studi[14],
tentang anak-anak dan orangtua dijelaskan:
anak-anak adalah milik Tuhan, karena itu orangtua harus memperlakukan
mereka dengan hormat dan mengajar mereka tentang Tuhan. Penulis Surat Galatia
juga mengulangi salah satu dari Sepuluh Firman Allah (Kel 20:12; Ul 5:16) untuk
mengingatkan orang-orang Kristen bahwa
ketaatan anak kepada orangtua mereka adalah jalan untuk mencapai salah satu
janji Allah, yaitu kebahagiaan dan umur panjang.
Kewajiban yang penting dari para orangtua (Yun, pater; jamak, pateres, dapat
berarti “ayah-ayah” atau “ayah dan ibu”) ialah memberikan kepada anak mereka
ajaran dan teguran yang termasuk pola asuh
Kristen. Orangtua harus menjadi teladan dalam kehidupan dan
perilaku Kristen, serta lebih
mempedulikan keselamatan anak mereka dari pada pekerjaan , profesi, pelayanan
mereka di gereja atau kedudukan sosial mereka.[15]
Pola asuh di Sekolah Kristen yang dimaksudkan dalam uraian ini
adalah berarti sistem atau model atau
cara pendidik di sekolah Kristen dalam merawat, mendidik, dan melatih
anak-anaknya untuk menanamkan
nilai-nilai iman Kristen supaya
karakter mereka bertumbuh menjadi manusia dewasa, baik jasmani maupun rohani,
sehingga mampu menjawab panggilan Tuhan dalam hidupnya. Pola asuh ini berarti
orangtua atau pendidik mendidik,
membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan
dengan norma-norma yang ada di masyarakat.
Pola asuh Kristen juga berarti
bagaimana orangtua atau guru menjalin interaksi dengan anak-anak di atas dasar
kasih Kristus. Pendidik
yang hatinya dipenuhi kasih Kristus akan berusaha dengan segenap hatinya untuk
mengembangkan bakat dan minat muridnya.
Menurut Alfie Khon, “Guru yang baik ialah yang menghormati dan bekerja
keras untuk mencari tahu apa yang sudah diketahui murid-muridnya. Memulai dari
apa yang diketahui murid dan bekerja berdasarkan hal tersebut, serta mencari
tahu kebutuhan dan minat murid”[16].
Guru yang
bermutu tinggi yang ingin menjadi seperti Yesus perlu mengasihi murid-muridnya
dengan kasih yang lembut tetapi kuat. Jodi Capehart, [17]
seorang pendidik dan konsultan
Pendidikan Agama Kristen bagi
banyak Sekolah Kristen dan gereja di Amerika Serikat, menuliskan cara-cara
menyatakan kasih dan kepedulian guru di sekolah Kristen terhadap muridnya
sebagai berikut:
a. Penyaluran kasih secara fisik, yaitu Melakukan
kontak mata; Mendekat; Memberikan pelukan; Menepuk pundak; Memangku.
b. Penyaluran kasih secara emosi, yaitu Memuji; Menyetujui; Mendorong; Memberikan waktu.
c. Penyaluran kasih secara intelektual, yaitu Memberikan
hasil riset yang Anda tahu disukai seorang murid; Membaca buku tentang suatu
hal yang menarik bersama-sama; Mengasihi dan mendorong anak melakukan yang
terbaik.
d. Penyaluran kasih secara rohani, yaitu Membagikan
kasih Tuhan melalui perbuatan, bukan hanya perkataan; Berdoa bersama anak; Menggarisbawahi
pandangan rohani seorang anak.
Pola asuh kajian teologis sesuai Ulangan
6: 4-9 memberikan landasan kepada para pendidik yang dalam fungsinya menjadi orangtua
yang kedua bagi anak-anak. Para pendidik melakukan pola asuh Kristen kepada
murid-murid melalui pemahaman berikut:
1. Pola Asuh Kristen dalam kajian teologis
berdasarkan Ul.6:4-9 dan penerapannya. Nilai-nilai Pola asuh Kristen yang ditonjolkan adalah: (1) Pendidik
yang lahir baru, (2) Pemahaman bahwa murid-murid adalah titipan illahi, (3) Menghargai
murid dalam segala eksistensi dan karyanya. (4)
Membangun relasi yang akrab dengan
murid, (5) Mengasihi murid, (6) Tidak berlaku kasar terhadap murid, (7)
Pendisiplinan murid, (8) Membangun karakter Kristus pada murid melalui : a).
Ibadah-ibadah anak setiap hari; b). Ibadah Guru-guru setiap pagi membangun
spritualitas; c). Ibadah umum guru bersama semua murid setiap Sabtu; (d).
Melatih murid melayani dalam ibadah, (9). Visi dan misi serta cor
values (nilai- nilai inti)
Pola
Asuh Kristen Kajian Pedagogis
Pola Asuh Kristen Kajian Pedagogi adalah seluruh hal
kegiatan guru yang berhubungan kemampuan, keterampilan, profesionalitas dan
panggilannya secara rohani menjadi pendidik sekaligus bapa/ ibu rohani bagi
murid-muridnya. Bagaimana pendidik membangun karakter Kristus ada pada murid.
Karakter yang dimaksud adalah kebiasaan-kebiasan dalam diri dan kehidupan
seorang anak yang telah tertanam dan berurat akar sebagai hasil belajar dalam
lingkungan di mana anak tersebut dibesarkan. Pembelajaran yang diupayakan
kepada anak tentunya didasari dengan kebenaran Firman Tuhan. Dengan demikian usaha untuk melakukan kajian pedagogi
bagaimana sesungguhnya pola asuh Kristen diwujudkan di
sekolah yang tercakup : (1) spritualitas
dan profesionalitas guru, (2) tujuan pendidikan Kristen, (3) syarat menjadi
guru di Sekolah Kristen, (4) kewajiban dan tanggung jawab pendidik di Sekolah
Kristen ,(5) pembinaan karakter Kristus pada murid, (6) pembinaan karakter
adalah kerja sama orangtua, sekolah, dan
gereja.
Pola Asuh Kristen
Kajian Metodologis
Hal ini menyangkut metode atau cara bagaimana pola
asuh Kristen itu diaplikasikan pendidik kepada para murid. Aplikasi metode pola asuh Kristen baik di
sekolah, maupun aplikasi metode pola asuh Kristen saat di luar sekolah dalam lingkup
program sekolah.
Aplikasi Pola Asuh Kristen dapat berlangsung di
dalam maupun di luar sekolah di Sekolah. Penerapan pola asuk Kristen di dalam
sekolah meliputi:
a.
Perhatian, Didikan, dan
Kepedulian Kepada Anak Sebagai Aspek Dasar Pola Asuhan Kristen
Kehadiran
anak-anak di kelas untuk belajar adalah tanggung jawab guru. Dalam proses
pembelajaran dimaksud, tidak hanya terletak pada cara bagaimana bahan pelajaran
apa yang disajikan. Tapi kesediaan pendidik untuk memperhatikan diri muridnya.
Guru peduli dengan buku-buku yang mereka bawa, PR yang diberikan harus
dikoreksi dan hasilnya diserahkan kepada murid. Mengasuh muridnya bagaimana berlaku
sopan, baik kepada guru, orangtua, maupun setiap orang. Mengasuh mereka untuk
memiliki semangat juang yang tinggi, dapat bekerja keras, dan bisa bekerja sama
dengan orang lain. Guru harus bersedia menyisihkan waktunya untuk memperhatikan
kebersihan diri murid-muridnya.
Para guru hendaknya sangat ramah dan memperlakukan
murid dengan sopan dan berharga. Pemahaman teologisnya, karena anak adalah
mahluk ciptaan Tuhan yang mulia, yang dititipkan kepada mereka untuk diasuh
dengan sebaik-baiknya. Sehingga melalui sikap-sikap para gurunya yang ramah dan
sopan, kiranya para murid juga meniru mereka. Salah satu tindakan keramahan
dimaksud, adalah guru menyambut dan menyalami anak di pagi hari di pintu
gerbang sekolah.
b. Ibadah
Sebagai Dasar Pola Asuh Kristen
Adapun kegiatan-kegiatan ibadah yang
dapat dilakukan antara lain: (a) Ibadah guru-guru; (b) Ibadah pagi PG/TK, SD dan SMP setiap pagi dari Senin –
Jumat; (c) Ibadah bersama TK, SD, SMP
setiap Sabtu akhir pekan; (d) Doa dan pembacaan renungan untuk memulai pelajaran
di kelas masing-masing; (c). Pendidik sangat memperhatikan makanan murid dan melarang jajan di sekolah; (d). Peran satpam dan CS (Clining Servis) dalam pola asuh Kristen di sekolah.
Aplikasi pola asuh
Kristen di luar
sekolah dalam lingkup program sekolah diwujudkan melalui pembinaan iman dan karakter dalam bentuk : Retreat, mission trip, out
bond, dan sleep over, dan kegiatan lainnya.
Kesimpulan
Pola asuh Kristen adalah bagaimana memberi rasa nyaman bagi
anak-anak dalam proses pembelajaran di sekolah. Alasannya, kalau anak merasa
nyaman belajar, nyaman dalam berhadapan dengan guru, maupun sesama temannya,
tentu dia betah belajar. Mengajak anak bercanda, tentu sangat menyenangkan hati
mereka. Sehingga pendidik dekat sekali –dalam artian emosional—dengan
murid-muridnya. Dan itu menjadi modal awal dalam memberhasilkan pembelajaran
pada anak-anak.
Kepustakaan
Alfie Khon, “The School Our Children Deserve”
(terjemahan), Tangerang:
Penerbit Lentera Hati, 2009
Alkitab
Edisi Studi, Jakarta:
LAI, 2010
Alkitab
Penuntun Hidup Berkelimpahan. Malang ; Gandum Mas, 2004,
Capehart, Jodi Touching HeartsChanging Lives (terjemahan)
. Jakarta: Metanoia Publising, 2012,
Harian “Sinar Indonesia Baru”, Senin 4 November
2013
Howard, Hendrik, Teaching to Change Lives. Colorado Springs: Multonomah Books, 1987
Kompas, Sabtu 23 Maret
2013
Simanjuntak, Bungaran Antonius, Indonesia Masa Kini dan Masa Depan.
(Tantangan terhadap Pluralisme dan Multikulturalisme Indonesia), Makalah
dalam Seminar Nasional Sekolah Tinggi Teologi Sumatera Utara (STTSU) pada 27
Februari 2013 di Hotel Danau Toba Medan
Situmorang, Jonar, Filsafat Dalam Terang Iman
Kristen. Yogyakarta : Andi, 2004
Sutanto, Maryam K.T.K.,
Tabloid Penabur
Jakarta No.29 tahun 2009
UU No.Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Walker, D.F., Konkordansi Alkitab Edisi 15, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011
[1]Bungaran Antonius Simanjuntak, Indonesia
Masa Kini dan Masa Depan:
Tantangan
terhadap Pluralisme dan Multikulturalisme Indonesia, Makalah dalam Seminar Nasional Sekolah Tinggi Teologi
Sumatera Utara (STTSU) pada 27 Februari 2013 di Hotel Danau Toba Medan.
[2]
Kompas, Sabtu 23 Maret 2013, hal.7
[3] Harian “Sinar Indonesia Baru”, Senin 4 November 2013, hal.14
[4] Jonar Situmorang, Filsafat Dalam Terang Iman Kristen. Yogyakarta : Andi, 2004, hal.123
[7]D.F.
Walker, Konkordansi Alkitab Edisi 15,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011, hal.31
[9] Ibid. Hal.296
[11] Ibid, hal.285
[12] Hendrik Howard, Teaching to Change Lives. Colorado
Springs:Multonomah Books, 1987, hal.20
[13] Howard G Hendrik, Mengajar Untuk
Mengubah Hidup” . Jakarta : Yayasan Gloria 2011, hlm .29
[16]Alfie Khon, “The School Our Children Deserve” (terjemahan),
Tangerang: Penerbit
Lentera Hati, 2009, hal.12
[17] Jodi Capehart, Touching HeartsChanging Lives (terjemahan) .
Jakarta: Metanoia Publising, 2012, hlm.163-164