PENDIDIKAN KRISTEN UNTUK ANAK JALANAN: RUMAH SINGGAH
BERBASIS COMMUNITY DEVELOPMENT
Albet Saragih1 &Johanes Waldes
Hasugian2
Sekolah Tinggi Teologi Sumatera
Utara1,2
saragihalbet01@stt-su.ac.id1, johaneswhasugian@gmail.com2
Abstrak
Pendidikan Kristen dapat dilakukan melalui rumah singgah
sebagai upaya
memberdayakan atau mengembangkan masyarakat,
dalam hal ini anak jalanan. Tulisan ini
bertujuan untuk menjelaskan bahwa gereja dan komunitas orang percaya memiliki tugas dan panggilan untuk menjangkau anak jalanan dan menawarkan alternatif
pelayanan pendidikan
Kristen berbasis pengembangan komunitas
anak jalanan. Dengan
menggunakan metode pengamatan dan studi literatur yang relevan dengan topik yang
dikaji penulis berupaya menemukan pendekatan ataupun model yang relevan dalam pengembangan komunitas anak jalanan. Penelitian ini menemukan bahwa dengan
rumah singgah, dengan segala keterbatasan yang ada secara praktis berbeda dengan
pendekatan pelayanan gereja ataupun sekolah.
Namun demikian, gereja didesak
agar tidak mengabaikan dan sebaliknya mulai mengaktualiasasikan dirinya dalam program pelayanan komunitas anak jalanan. Rumah singgah selain sebagai
tempat pemondokan atau istirahat, membersihkan dirinya, tempat pelatihan yang berkaitan dengan skill of life, hal yang menarik bahwa rumah singgah dijadikan menjadi tempat untuk mendapat
pendidikan nilai kristiani, yang di dalamnya ada aktivitas berdoa, bernyanyi rohani, belajar Alkitab bersama, dan konseling pastoral secara terprogram, serta sebagai wadah
untuk melatih diri dalam menerapkan nilai-nilai Firman Tuhan,
iman, kasih, pengharapan, kejujuran, tanggung jawab,
dan solidaritas bagi
sesama.
Kata Kunci : Pendidikan Kristen, Anak Jalanan, Rumah
Singgah, Pelayanan, Community Development
Abstract
Christian education can be carried out through transit home as an effort to empower or
develop the community, in this case street children. This paper aims to explain that the church and community of believers have a duty and calling to reach out to street children and offer
alternative Christian education services based on community development of
street children. By using the method of
observation and
study of literature that’s relevant to the topic being studied, the
author seeks to
find a relevant approach or
model in
the development of
street children community. This study found that with a
transit home, with all its limitations,
it is practically different from the church or school ministry approach. However, the church is urged not to neglect and instead begin to actualize itself
in the community service program for street children. Apart from being a shelter or
resting place, cleaning themselves, training
places related to skills of life,
it is interesting that a transit home is
used as a
place to get Christian value education, in which there are activities for prayer, spiritual singing, group Bible
study, and pastoral counseling in
a programmed manner, as
well as
a forum for
194
Jurnal Shanan
Volume 4 Nomor 2 Oktober
2020 hal. 194-207
ISSN. 2722-4678 (Online)
ISSN: 2549-8061 (Print)
training oneself in applying the values of God's Word, faith, love, hope, honesty, responsibility, and
solidarity for others.
Keywords: Christian Education, Street Children, Transit Home, Ministry, Community Development
Pendahuluan
Tulisan ini berangkat dari keprihatinan penulis
terhadap fenomena
kehidupan anak jalanan yang dapat kita
lihat secara kasat mata. Kita juga melihat realitas kehidupan dan perilaku
yang mereka tampilkan di tengah masyarakat,
tidak jarang kita melihat
perilaku yang tidak
sesuai dengan norma tertentu, misalnya norma sosial, khususnya agama, tidak mendapatkan pemenuhan hidup yang seharusnya, secara sosial, ekonomi,
pendidikan dan agama. Padahal masa muda sejatinya perlu senantiasa diisi dengan berbagai
hal yang membentuk kehidupan melalui pendidikan yang benar agar memiliki
pengetahuan, karakter dan keterampilan
hidup
yang mumpuni sebagai modal atau
dasar
dalam ketahanan hidup.
Berkenaan dengan anak jalanan,
beberapa penelitian atau kajian sudah
dilakukan. Misalnya saja Ahmad Fauzi, yang menyoroti tentang upaya terhadap
penanggulangan anak jalanan dari aspek sosial-ekonomi1, Bagong Suyanto2 yang memaparkan tentang latar belakang kehidupan anak jalanan dan masalah sosial yang
ditimbulkannya. Dari
beberapa kajian penelitian maupun literatur tentang anak jalanan, isu secara
spesifik berkenaan dengan pendekatan terhadap anak jalanan belum signifikan
1Ahmad Fauzi, “Usaha Transformasi Anak
Jalanan Keluar Dari Posisi Anak Jalanan: Studi Perilaku Sosial Anak
Jalanan Di Provinsi Banten,” E-PLUS: Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Vol.1, No.1 (2016):
19–31.
2Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010), 12.
dilakukan. Penulis mempelajarinya, ternyata tidak banyak tentang penanganan anak jalanan di Indonesia dikaji dari
perspektif tanggung jawab etis kristiani melalui pelayanan pendidikan Kristen, dalam rangka membangun karakter
bangsa yang tangguh, padahal mereka juga merupakan bagian dari entitas bangsa yang memiliki potensi dan memiliki kesempatan untuk berkarya dan
berkontribusi bagi bangsa dan negara. Dalam kaitan inilah penulis melakukan kajian terhadap pelayanan pendidikan Kristen bagi anak
jalanan
melalui
community development berbasis rumah
singgah, dimana anak-anak diajar, diasuh,
dilatih dan diperlengkapi dengan nuansa
kasih Kristus di dalam dan melaluinya.
Anak jalanan (disingkat “anjal”)
merupakan anak yang memanfaatkan
sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan sehari-hari di jalanan
termasuk di lingkungan pasar, pertokoan dan pusat-pusat keramaian lainnya. Istilah
„anak jalanan‟ pertama kali diperkenalkan di
Amerika Selatan, tepatnya di Brazilia, dengan nama Meninos de Ruas untuk menyebut kelompok
anak-anak
yang
hidup di jalan dan tidak memiliki tali
ikatan dengan keluarga.3 Kehidupan anjal ini, sesungguhnya
rawan
sekali. Eksploitasi anak4 dan lain-lain yang
3Herlina Astri,
“Kehidupan Anak Jalanan di Indonesia: Faktor Penyebab, Tatanan
Hidup dan Kerentanan Berperilaku Menyimpang,” Aspirasi Vol.5, No.2 (2014): 145–155.
4Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ninik Yuniarti di terminal Tidar Kota Magelang ditemukan bahwa bentuk eksploitasi
anak jalanan adalah sebagai pengemis dan pengamen, secara khusus yang dilakukan oleh keluarganya. Faktor
penyebabnya adalah karena faktor kemiskinan,
195
Pendidikan Kristen Untuk Anak....
berhubungan dengan ketidakteraturan sosial
(social disorder)
yang ditandai
dengan kesemerautan, ketidaknyamanan, ketidaktertiban serta mengganggu
keindahan kota. Permasalahan ini dapat
mengganggu keharmonisan kehidupan sosial masyarakat sebagai salah satu
faktor kunci keberhasilan pembangunan.
Susy
Y. R. Sanie, dkk dalam bukunya,
“Evaluasi Dampak Program Dukungan
Anak Jalanan”, menyatakan bahwa dari berbagai penelitian terdahulu, anak jalanan didefenisikan sebagai anak yang berumur
di bawah 18 tahun yang
menggunakan sebahagian besar waktu
mereka untuk beraktivitas di jalanan, atau di
tempat-tempat umum lainnya seperti terminal bus, stasiun kereta api, pasar,
tempat hiburan, pusat perbelanjaan, atau
taman kota.5 Sering kali mereka menjadi
objek eksploitasi oknum-oknum tertentu; apakah dijadikan sebagai pencopet,
pengemis yang didrop di beberapa tempat strategis, menjadi
kurir narkoba. Karena
anak yang di bawah umur diajak jualan di jalan
raya merupakan bentuk Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT)6. Bahkan beberapa kali kasus fedofilia
terjadi, dimana anak-anak jalanan menjadi korban para
homoseks. Anak jalanan seringkali
mendapat cap sebagai
negatif di masyarakat-pemalas, bodoh, tidak
faktor ketidaktahuan orang tua mengenai perkembangan anak dan karena faktor budaya. Ninik Yuniarti, “Eksploitasi Anak
Jalanan Sebagai Pengamen Dan Pengemis Di Terminal Tidar Oleh
Keluarga,” Komunitas Vol.4, No.2 (2012): 210–
217.
Lih. Desi Sianipar, “Peran Pendidikan
Agama Kristen Di Gereja Dalam Meningkatkan Ketahanan Keluarga,” Jurnal Shanan Vol.4, No.1
(2020): 73–91.
5Susy Y.R Sanei,dkk., Evaluasi Dampak Program
Dukungan Anak Jalanan (Jakarta: PKPM, 2006).
6 Siswanto Siswanto dan Ageng Widodo, “Pembinaan Anak Jalanan Melalui Pola Asuh di Rumah Singgah dan Belajar (RSB) Diponegoro
Sleman Yogyakarta,” HISBAH: Jurnal Bimbingan
Konseling dan Dakwah Islam
Vol.16, No.1
(2019): 59–72.
berdisiplin, anak-anak jahat, suka berkelahi, jorok,
kumuh, suka cakap
kotor, tidak tahu berterimakasih, suka
mencuri, atau setidaknya dipandang
sebelah mata oleh masyarakat. Aspek
psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Dimana kelabilan emosi dan mental mereka
ditunjang dengan
penampilan yang kumuh, melahirkan
pencitraan negatif oleh sebagian besar
masyarakat terhadap anak jalanan yang
diidentikkan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh,
suka mencuri, sampah bagi masyarakat
yang harus diasingkan.7 Mereka sering sekali diperlakukan dengan
kasar, baik oleh oknum tertentu maupun
misalnya pada
saat razia.
Dengan kondisi yang sangat
memprihatinkan di atas, tentu menggetarkan nilai-nilai kemanusiawian kita. Gereja sebagai lembaga rohani,
maupun sebagai komunitas yang telah mengalami pencerahan spritual,
secara umum masih
sangat sedikit dalam
memberi perhatian khusus pada fenomena anak jalanan. Pendekatan yang dilakukan masih
sporadis, lebih kepada sebatas
diakonia karikatif seperti bagi sembako saat menjelang perayaan Natal, atau
menjelang perayaan Paskah. Hanya
beberapa Yayasan atau Lembaga yang
tetap konsern kepada anak jalanan.
Seperti halnya Yesus Kristus yang sangat peduli
terhadap orang-orang yang lelah dan terlantar (Matius 9:36) kiranya
lembaga kristiani juga menaruh perhatian
juga. Pola pendekatan yang bisa
dikembangkan adalah melalui
perekrutan relawan di gereja. Gereja lokal
di kota dapat
membagi visi tentang
penjangkauan/pelayanan
anak jalanan.
Orang-orang yang tertantang untuk mengambil bagian dalam jenis pelayanan
7 Tjutjup Purwoko, “Analisis Faktor-Faktor
Penyebab Keberadaan Anak Jalanan di Kota
Balikpapan,” eJournalSosiologi Vol.1, No.4
(2013): 13–25, ejournal.sosiologi.or.id.
196
Jurnal Shanan
Volume 4 Nomor 2 Oktober
2020 hal. 194-207
ini, diperlengkapi menjadi relawan atau
voluntir yang bersemangat dan rela bekorban. Sebaiknya dibentuk
menjadi satu tim, yang anggotanya terdiri
dari multi talenta. Sebab untuk penjangkauan
anjal ini sangat dibutuhkan banyak talenta
dalam mempersiapkan didikan kepada
mereka. Disiapkan wadah, atau rumah singgah yang tidak jauh dari tempat mangkalnya para anjal. Tujuannya, agar
mereka menjadikan rumah singgah itu
sebagai homebase yang menyenangkan, ramah anak jalanan dan memberdayakan kehidupan.
Tidaklah gampang menjangkau anak jalanan ini. Apalagi sampai
kepada tujuan kita untuk menyelenggarakan pendidikan kristiani. Tantangan dan
hambatannya tidak kurang banyak. Mulai dari
sulitnya mereka menaruh percaya
kepada orang lain, termasuk relawan. Sebab terlalu sering mereka ditipu ataupun dieksploitasi oleh oknum-oknum
tertentu. Bukan hanya dari kalangan
preman, tapi juga bisa dari petugas
berseragam.
Tantangan
lain, banyak
diantara mereka tidak bersedia membangun ikatan sosial dengan siapapun. Sebab dunia jalanan yang bebas tanpa
ikatan sosial telah membentuknya.
Tipe seperti ini sangat sulit dijangkau. Namun demikian tantangan
di
atas
bukanlah harga mati yang tidak bisa diterobos. Pendekatan-pendekatan humanis yang berbalur kasih
yang tulus, rela berkorban, sikap bersahabat setia
yang dimiliki oleh para relawan/ voluntir
kristiani, akan dapat
meluluhkan hal itu.
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif-kualitatif, artinya hasil penelitian ini berupa data deskriptif berkenaan dengan
anak jalanan, dan bagaimana respons orang percaya, komunitas iman Kristen atau gereja dalam pelayanan kepada anak
ISSN. 2722-4678 (Online)
ISSN: 2549-8061 (Print)
jalanan. Berbagai
informasi ditelusuri
dengan studi pustaka (library
research). Dan untuk memperkuat informasi tentang anak jalanan sebagai dasar dalam
eksplorasi berkenaan dengan
rumah
singgah berbasis community development
yang adalah
pengejawantahan fungsi
pelayanan pendidikan Kristen bagi anak
jalanan, maka pengamatan
dan
keterlibatan penulis langsung dalam mengelola rumah singgah juga menjadi
salah satu metode yang penulis pakai
dalam penelitian ini.
Pembahasan
Berdasarkan problematika dan
fenomena yang sudah dijelaskan dalam
latar belakang masalah, maka dalam pembahasan ini penulis menguraikan beberapa hal berkaitan dengan
pendekatan yang dilakukan dalam pelayanan anak jalanan dari perspektif pendidikan Kristen.
Namun sebelum menguraikan berbagai pendekatan tersebut, ada baiknya dikemukakan
sepintas berkenaan dengan pengklasifikasian istilah anak jalanan, yang bertujuan
untuk memaparkan
berbagai istilah yang dipakai untuk anak jalanan.
Surbakti, dkk dalam Ahmad Fauzi8, mencoba
membedakan tiga
kelompok anak jalanan: Pertama, children
on the street, yakni anak jalanan menjadi
penopang untuk orangtua mereka dalam kegiatan
ekonomi, seperti
menjadi
pengasong, tukang payung, tukang semir, dsb.
Karena tekanan kemiskinanlah maka orangtuanya melibatkan mereka untuk
mencari nafkah. Kedua, children of the street,
yakni anak-anak hidup di jalanan lebih
karena berbagai faktor,
antara lain
8Fauzi, “Usaha Transformasi Anak Jalanan Keluar Dari Posisi Anak Jalanan: Studi Perilaku Sosial
Anak Jalanan Di Provinsi Banten.”
197
Pendidikan Kristen Untuk Anak....
anak korban KDRT, anak lari dari rumah karena kurang mendapat perhatian dan
kasih sayang orangtua, anak korban karena perceraian orangtuanya, atau anak
yang menjadi
korban bencana alam.
Orangtua mereka memang ada, tapi anak-anak itu tidak bergantung lagi kepada
orangtua, atau hubungan di antara keduanya sudah dingin. Biasanya, anak-anak
punk banyak seperti ini.
Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial,
emosional, fisik maupun
seksual. Ketiga, children from families of
the street,
kategori ini yakni anak-anak yang berasal dari orangtuanya sendiri pun sudah lama homeless, yaitu hidup
menjadi gelandangan. Tinggal dari satu tempat
ke tempat yang lain. Hidup mereka
terombang-ambing, kadang di
ruko kosong, di bawah jembatan, atau emperan toko, atau hidup di atas gerobak dan beca.
Anak-anak keluarga ini dilahirkan, dan dibesarkan di jalanan. Tidak
pernah mendapat pendidikan formal, TK, SD, SMP. Karena sering sekali mereka tidak
punya identitas KTP atau KK, sehingga pemerintah kota tidak dapat menjangkau
mereka dengan fasilitasnya.
Sesungguhnya, stigma yang disematkan masyarakat kepada para anjal ini,
tidaklah sepenuhnya benar. Sebagai
manusia ciptaan Tuhan, tentulah
mereka sebagai mahluk sosial yang mengidamkan perhatian, kasih sayang yang tulus, perlakuan adil, serta butuh pemberdayaan yang serius. Kasih
sayang adalah pendidikan hidup yang terenggut dari
kehidupan anak jalanan.
Mereka dialpakan dan dianggap
sampah masyarakat. Di balik penampilan yang
kumuh dan kotor, tersimpan jiwa anak-anak
yang mendamba rumah dan
perhatian.9 Jika didekati baik-baik,
9Tri Supartini, “Sudah Ramah Anakkah Gereja?:
Implementasi
Konvensi Hak
Anak Untuk
mereka akan membuka diri.10 Keberadaan mereka tidak jarang dijadikan indikator kemelaratan dan krisis nilai-nilai sosial di
masyarkat. Pada dasarnya anak jalanan adalah kelompok
anak yang menghadapi banyak masalah.11
Dalam sudut pandang kristiani, anak jalanan ini bukanlah sampah masyarakat, bukan pula objek eksploitasi yang membawa keuntungan kepada oknum-oknum tertentu. Anak jalanan
adalah mahluk ciptaan Tuhan,
yang memiliki harkat dan martabat yang sama
dengan anak-anak
normal lainnya.
Menjadi anak jalanan bukan pilihan, akan
tetapi faktor keterpaksaan. Anak-anak di bawah umur dengan terpaksa oleh karena himpitan ekonomi
keluarga, kurangnya perhatian dan kasih sayang orangtua,
sehingga harus menjadi anak jalanan.
Faktor yang menyebabkan keberadaaan anak jalanan
tersebut adalah
faktor ekonomi, faktor pendidikan yang rendah
baik dari orang tua maupun anak,
kesadaran dari diri pribadi si anak yang
ingin membantu orang tua.
Berkenaan dengan perlindungan
anak12 dinyatakan bahwa anak adalah
anugerah dan memiliki harkat dan martabat
seutuhnya, mereka adalah tunas, potensi, dan generasi muda bangsa yang menjadi
penerus cita-cita perjuangan
bangsa. Oleh karena itu, setiap anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-
Mewujudkan Gereja
Ramah
Anak,” Jurnal Jaffray
Vol.15, No.1
(2017): 1–30.
10Maria Serenade Sinurat, “Pendekar Pendidikan Anak Jalanan,” 2010, https://amp.kompas.com/edukasi/read/2010/06/09/ 09591229/Pendekar.Pendidikan.Anak. Jalanan. 11Indrasari Tjandraningsih, dkk., Dehumanisasi
Anak Marjinal: Berbagai Pengalaman Pemberdayaan
(Bandung:
Yayasan Akatiga,
1996).
12Undang-Undang RI Tentang Perlindungan Anak (Indonesia, 2002), https://www.kpai.go.id/hukum/undang-undang-
uu-ri-no-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak.
198
Jurnal Shanan
Volume 4 Nomor 2 Oktober
2020 hal. 194-207
luasnya untuk tumbuh berkembang secara
optimal, baik fisik, mental maupun sosial,
dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk
mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap
pemenuhan hak-hak anak tanpa adanya
diskriminasi.
Faktor keadaanlah yang memaksa
membuat anak jalanan menjadi
seperti itu.
Keadaan lingkungan jalanan yang kasar
dan kurang bersahabat, menempa mereka menjadi
individu yang kasar dan egois. Kerasnya persaingan dalam ekonomi,
yang membuat
mereka harus kerja keras untuk
sesuap nasi, membuat mereka menahankan hujan dan panas yang
berdampak bukan saja wajah mereka keras, tapi hatinya pun keras. Kerasnya hati membawa anak jalanan tidak mudah
menerima nasihat, selalu curiga dengan setiap
orang, keras kepala, dan belum
mau menerima perubahan. Perkembangan
spritualitas mereka menjadi terabaikan oleh karena pengaruh kerasnya kehidupan yang mereka jalani. Tetapi sesungguhnya, sebagai manusia
normal, tentulah relung
hati mereka tetap merindukan sentuhan-sentuhan layanan
rohani yang
menyejukkan dan melembutkan.
Hadirnya sosok kebapaan
rohani, keteladanan hidup, dan mengasihi dengan
tulus akan menjadi tetesan-tetesan air
sejuk pada orang yang kehausan saat melintasi perjalanan
kehidupan yang kompleks.
Pengayoman yang sejati, advokasi, dan pemberdayaan
yang
berjenjang adalah kebutuhan mereka. Oleh
karena itu, gereja sebagai lembaga dan komunitas, tidak bisa tinggal diam menunggu mereka datang. Gereja bukan menara gading yang indah dan memukau.
Gereja seyogianya hadir dan peduli
ISSN. 2722-4678 (Online)
ISSN: 2549-8061 (Print)
kepada mereka13. Seperti Yesus Kristus
dari kemuliaan-Nya yang kekal turun ke dunia
menjadi sama dengan manusia
oleh karena kasih-Nya kepada
kita. “Yesus berkeliling ke semua kota dan desa...Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus
oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah
dan terlantar seperti
domba yang tidak bergembala” (Mat. 9:35-36). Hampir
sama dengan itu, para anak jalanan
ini juga lelah dan terlantar. Mereka seperti domba yang tidak bergembala atau pemimpin rohani yang menjadi teladan.
Inilah segi pelayanan yang harusnya diberi
perhatian.
Tidak hanya bergelut dalam kotak
pelayanan di seputar gedung Gereja saja.
Pendidikan Kristen dalam
arti yang seluasnya seyogianya hadir bagi mereka.
Pendidikan Kristen yang membebaskan para anak jalanan dari kebodohan, kemiskinan, dan amoralitas
berupaya menjadikan mereka manusia baru yang memiliki masa depan
yang cerah,
memahami jati diri atau gambar diri sehingga dengan demikian mereka dapat menghargai diri dan orang lain, serta
memahami perannya
dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Rumah Singgah, sebagai suatu
alternatif model pelayanan pendidikan Kristen, adalah suatu wadah yang di dalam
dan melaluinya anak jalanan mendapatkan kesempatan dilayani, dididik, dilatih, dan diperlengkapi untuk
memulihkan hidupnya. Pelayanan dari Rumah Singgah bertujuan
untuk menghidupkan gambar Allah, penguatan
etika, spiritual, dan moralitas
bagi anak jalanan, sehingga ketika mereka mengais rejeki di lapangan, memiliki sikap yg
13Hans Geni Arthanto, “Hans Geni Arthanto,
Kemiskinan Dan Peran Gereja,” 24
September
2018, https://pesat.org/article/kemiskinan-dan-peran-gereja/.
199
Pendidikan Kristen Untuk Anak....
baik, sopan, jujur dan berpengharapan
yang teguh. Nilai-nilai kehidupan inilah yang mewarnai seluruh aktivitas
pelayanan yang dilakukan oleh pengurus
rumah singgah.
Robert Pazmino14 mengemukakan bahwa pendidikan Kristen sebagai proses belajar mengajar yang berdasarkan
Alkitab, dimampukan oleh Roh Kudus dan berpusat kepada Kristus.
Menurutnya, pendidikan Kristen berusaha membimbing individu di semua tingkat
pertumbuhan lewat berbagai cara
pengajaran kontemporer ke
arah pengenalan dan pengalaman akan rencana
dan tujuan Allah melalui Kristus
dalam setiap aspek
kehidupan. Lawrence Cremin dalam Groome15 melihat bahwa
pendidikan menghasilkan
perubahan,
pembaruan, dan reformasi dalam diri
individu, kelompok, dan
struktur masyarakat oleh karena kuasa Roh Kudus
sehingga membuat mereka semakin
serupa dengan kehendak Allah yang dinyatakan dalam Kitab
Suci dan dalam pribadi Kristus.
Berdasarkan pemikiran Lawrence
Cremin tersebut kita dapat mengemukakan bahwa
pendidikan Kristen dalam konteks
pelayanan anak jalanan mencakup,
pertama bahwa proses pembelajaran bagi anak jalan didasarkan
secara alkitabiah, mengandalkan kuasa Roh Kudus ketimbang mengandalkan kekuatan diri, dan berpusatkan pada
Kristus yang menyelamatkan kehidupan
manusia. Kedua, bahwa
pendidikan
Kristen berupaya membimbing setiap pribadi anak jalanan untuk bertumbuh
sesuai dengan tarafnya melalui
cara-cara mengajar yang sesuai atau relevan agar mengetahui dan mengalami maksud dan
14 Pazmino Robert W., Fondasi Pendidikan Kristen: Sebuah Pengantar Dalam Perspektif
Injili (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2012). 15Thomas Groome, Christian Religious Education
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011).
rencana Allah melalui Yesus Kristus
dalam setiap segi kehidupan dan melengkapi mereka untuk pelayanan yang
efektif, menjadi serupa dengan Kristus (Rom. 8:29). Ketiga, bahwa pendidikan
Kristen tidak terikat dengan
fasilitas gedung/ruang kelas namun merupakan proses
belajar mengajar, seperti yang dilakukan oleh Allah kepada Musa (Ul. 4:10)
dan Paulus kepada Timotius (II
Tim. 3:10-15).
Tahapan pemberdayaan anak jalanan melalui
Rumah Singgah
berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah
Singgah yang dikeluarkan oleh Depsos RI16, secara
garis besarnya
adalah pertama, Penjangkauan dan
pendampingan di jalan,
kedua, Indentifikasi anak (problem assessment)
yaitu suatu proses
untuk mengindentifikasi dan mengkaji identitas anak riwayat hidup, masalah, kebutuhan, potensi dan dinamika kehidupan
anak jalanan.
Ketiga, Resosialisasi, yaitu kegiatan merubah sikap dan perilaku anak
agar sesuai dengan nilai dan norma sosial.
Keempat, Pemberdayaan untuk anak
jalan. Kelima, Pemberdayaan untuk orang
tua anak jalanan. Terakhir, Terminasi
(pengakhiran
pelayanan).
Pelayanan Rumah Singgah merupakan upaya pelayanan kesejahteraan sosial terhadap anak jalanan
yang dilandasi oleh UUD 1945 pasal 34.
Rumah Singgah sendiri menurut
Departemen Sosial didefinisikan sebagai
suatu wahana yang akan dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan
dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka mereka. Tujuan
Rumah Singgah secara umum adalah membantu anak
jalan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan
16Departemen Sosial, Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah (Jakarta: Departemen Sosial
RI,
1999).
200
Jurnal Shanan
Volume 4 Nomor 2 Oktober
2020 hal. 194-207
kebutuhan hidupnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah: 1) Membentuk
kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai
dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. 2) Mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga
pengganti lainnya jika diperlukan. 3) Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga masyarakat yang
produktif.
Rumah Singgah menggunakan pendekatan centre
based program dengan fungsi intervensi rehabilitatif. Meskipun demikian, Rumah Singgah juga menggunakan pendekatan community based dan street based yang tercermin
dalam beberapa program dan kegiatannya yaitu dengan
melakukan pemberdayaan.
Pengembangan komunitas (community development) tersebut melalui Rumah Singgah dimaksudkan
dengan dasar berpikir bahwa
dalam komunitas anak jalanan dapat dilayani dan diberdayakan bersama. Dalam komunitas ada komunikasi untuk
menyampaikan visi dan cerita kerajaan
Allah, berita keselamatan dan kebaikan-kebaikan Allah bagi umat-Nya, dahulu,
kini dan seterusnya. Dalam komunitas komunikasi antar anak jalanan dibangun,
dan dengan demikian mereka belajar
untuk mengenal dan memahami satu dengan yang lain, belajar untuk saling
menghargai dan belajar untuk hidup bersama dalam
komunitas yang
membangun. Dalam komunitas terjadi
penguatan untuk terus bertumbuh dan menjadi pribadi yang
dewasa dan seutuhnya. Apabila komunitas anak jalanan diarahkan pada
tujuan dan harapan tersebut, maka rumah singgah
haruslah menjadi wahan yang ramah bagi mereka, dan yang tidak kalah pentingnya adalah orang-orang yang
memiliki
ISSN. 2722-4678 (Online)
ISSN: 2549-8061 (Print)
panggilan dan tanggub jawab hendaknya memiliki persepsi, visi dan spirit
yang sama, yaitu dalam rangka memberdayakan anak jalanan
agar mereka memiliki kepenuhan hidup (Yoh.10:10b). Oleh karena
itu, fasilitator dalam pelayanan pendidikan Kristen
bagi anak jalanan
hendaknya
senantiasa berorientasi atau berpusat
pada
pemodelan pengembangan
komunitas sebagaimana yang Yesus telandankan dalam kehidupan dan pelayanan-Nya.
Metode Pendidikan Kristen Untuk Anak Jalanan
Sebagaimana telah diutarakan di
atas bahwa pendidikan Kristen adalah
pendidikan yang dilakukan bersifat
holistik, tidak difokuskan pada
pengetahuan, moral, etika, agama dan budi
perkerti saja, tetapi juga menyangkut
aspek-aspek lain yang bersifat
memulihkan gambar Allah pada manusia
yaitu menjadi
serupa dengan Kristus.
Pendidikan Kristen dapat diartikan
sebagai misi iman Kristen dalam memulihkan gambar dan rupa Allah
dari dosa, serta membina potensi–potensi yang
ada di dalam dirinya, yaitu perspektif spiritual/rohani (rasa, cipta, hati nurani),
mental (pikiran, perasaan, kehendak), dan aspek
jasmani (panca indera dan
kemampuan–kemampuannya). Pendidikan Kristen membawa manusia
untuk kembali kepada
hidup
yang
seutuhnya di dalam Kristus. Saragih dan
Hasugian17 memakai
istilah asuhan
Kristen untuk menekankan pendidikan Kristen yang dilakukan oleh orang tua
atau keluarga Kristen.
Di dalamnya ada upaya mengasuh dan memberi teladan
kepada orang-orang (termasuk anjal),
17Albet Saragih and Johanes Waldes Hasugian, “Model Asuhan Keluarga Kristen Di Masa
Pandemi Covid-19,” Teruna
Bhakti Vol.3, No.1 (2020): 1–11, http://stakterunabhakti.ac.id/e-journal/index.php/teruna/article/view/56.
201
Pendidikan Kristen Untuk Anak....
memperlengkapi agar mereka menjadi
pribadi yang dewasa, berprestasi,
sopan santun, ramah, dengar nasihat orang tua,
dan takut akan Tuhan
Pendidikan Kristen melalui Rumah Singgah dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk,
antara lain: Pertama,
konseling pribadi.
Dalam rangka
menolong orang dengan kondisi yang khusus kemudian berkembang bentuk pendampingan khusus yang disebut
konseling (Counseling).
Selanjutnya
layanan
konseling pastoral (Pastoral Counseling). Konseling Pastoral adalah sebuah layanan percakapan terarah yang menolong orang yang tengah dalam
krisis18 agar mampu melihat
dengan jernih krisis yang dihadapinya. Dengan demikian, diharapkan, orang tersebut
mampu menemukan kemungkinan solusi
atas krisis yang dihadapinya. Konseling ini dilakukan oleh relawan sebagai kakak
rohani, baik di Rumah Singgah, atau
dimana saja, yang penting
terjalin hubungan yang akrab, saling percaya, dan dilandasi iman kepada Yesus
Kristus.
Kedua, kunjungan dan pendampingan. Relawan melakukan pendekatan
pribadi, dengan
cara mengunjungi serta mendampingi saat
anjal di jalanan. Dalam kesempatan inilah
anjal dapat diajak bersahabat, dan saatnya
yang tepat dapat mengajak secara pribadi-pribadi untuk
ikut program di rumah
singgah untuk mendapat pendidikan dan pembinaan kristiani. Sebagaimana dilakukan oleh Jaringan
Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT) dengan program merumahkan
anak
jalanan,
yaitu
mengajak mereka tinggal di sekretariat
dan menjadi anak binaan19. Kunjungan
18Hendri
Wijayatsih,
“Pendampingan
Dan Konseling Pastoral,” Gema Teologi Vol.35, No. 1/2 (2012): 1–17, https://journal-theo.ukdw.ac.id/index.php/gema/article/view/122. 19Aniyatul Nasofa, Muhadjir Effendi, and Nurhadi Nurhadi, “Strategi Pendampingan Anak Jalanan
dan pendampingan anjal ini juga bisa
dilakukan dengan cara perkunjungan kepada keluarganya. Sebab banyak anjal
dari keluarga miskin yang tinggal
perumahan kumuh. Mereka mengasong, ngamen, atau tukang semir sepatu untuk
membantu ekonomi keluarganya. atau
bentuk-bentuk pendidikan Kristen yang diadakan dalam pelayanan rohani kepada
anak jalanan ini adalahperkunjungan dan
menjalin persahabatan.
Relawan dari Rumah Singgah
dapat terlebih dahulu menjadwal rutin perkunjungan kepada anak-anak jalanan
di tempat-tempat mana mereka
mengamen di jalanan, atau
tempat
mangkal yang asongan atau pencari barang rongsokan. Jadwal perkunjungan dilakukan pada setiap
Jumat-Sabtu akhir pekan. Menjalin persahabatan dengan
mereka agar tercipta
sikap
saling
menerima satu dengan yang lain. Relawan
mengajak bercerita, atau sekedar minum kopi
atau teh atau makan bakso. Ada anak bersikap terbuka sehingga cepat akrab
dengan relawan. Tapi ada juga anak orang
tertutup,bicara seperlunya, dan bersikap
curiga selalu. Untuk anak seperti ini, butuh proses yang lama dan kesabaran.
Setelah terjalin persahabatanlah baru bisa diawali pertemuan secara terjadwal di Rumah Singgah.
Model Pendidikan Kristen yang
dilakukan lebih menitikberatkan pada
penanaman nilai-nilai kristiani20; antara lain:1). Nilai ketaatan kepada Tuhan dan
Firman-Nya, 2). Nilai solidaritas dalam kebersamaan, 3). Nilai kejujuran, 4). Nilai
sikap bertanggung jawab, 5). Nilai sikap
(Studi Kasus Di Jaringan Kemanusiaan Jawa
Timur),” Jurnal Pendidikan
Non Formal Vol. 11,
No.1–7 (2016), http://journal2.um.ac.id/index.php/JPN/article/vie w/2949.
20May Rauli Simamora and Johanes Waldes
Hasugian, “Penanaman Nilai-Nilai Kristiani Bagi Ketahanan Keluarga Di Era Disrupsi,” Regula Fidei Vol.5, No.1 (2020):
13–24.
202
Jurnal Shanan
Volume 4 Nomor 2 Oktober
2020 hal. 194-207
hidup bersih dan rapi. Kelima nilai di atas menjadi bahan panduan dalam
membuat segala aktivitas pembinaan dan pelatihan
di Rumah Singgah. Ada jadwal kegiatan
ibadah dan Penelahan Alkitab bersama
setiap hari Senin dan Jumat sore setiap
pekan. Ada latihan musik bersama setiap
Sabtu sore, rutin di Rumah Singgah, tapi
bisa juga di studio musik yang disewa per jam. Dari Senin-Sabtu ada staf relawan di Rumah
Singgah yang melayani dan
mengawasi anak-anak yang datang ke
Rumah singgah, baik karena mau istirahat
sebentar, atau mau mandi dsb. Tapi anak-anak itu dapat berkonsultasi, atau konseling pastoral bagi yang bermasalah. Kedekatan, persahabatan, penuh cinta kasih, selalu ditekankan dalam menjalin hubungan antara relawan dengan anak-anak jalanan yang ada dalam binaan
Rumah Singgah.
Ketiga, ibadah dan pemahaman
Alkitab. Setelah pendekatan kepada anak jalanan berhasil, sedapat mungkin
dilakukan maka ibadah bersama kelompok dan diikuti kegiatan Penelahan
Alkitab (PA) dapat mulai dilakukan. Biarlah
mereka mulai mengenal nilai-nilai
pendidikan Kristen melalui kegiatan
ini.Dalam pendidikan Kristen,Alkitab merupakan landasan berpikir, landasan bertindak, dan rule-nya21. Selanjutnya ada kegiatan
keakraban terlebih
dahulu,
kemudian masuk acara
ibadah;
bernyannyi bersama lagu rohani, ada doa,
Firman Tuhan disampaikan dengan
sederhana dan seefektif mungkin. Selalu
ditekankan kepada pembentukan karakter
kristiani, seperti keinginan
Kristus.
Contohnya tentang nilai kejujuran,
21Maria Lidya Wenas and I Putu Ayub Darmawan, “Signifikansi Pendidikan Anak Dalam Perspektif Alkitab,” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Vol.1, No.2 (2017): 118–128, https://journal.sttsimpson.ac.id/index.php/EJTI/art
icle/view/69.
ISSN. 2722-4678 (Online)
ISSN: 2549-8061 (Print)
kebaikan moral, sopan santun, kasih yang
tulus, membangun kerjasama, dan takut akan Tuhan. Ibadah memakai alat-alat musik mereka ketika
ngamen, bila perlu
ditambah alat musik keyboard dll, dan sound sistem yang baik.
Keempat, hearing (mendengar isi
hati). Anak jalanan yang penuh dengan
pergumulan hidup sangat mendambakan
sosok rohaniawan yang tulus, yang mau
mendengar segala keluh kesah mereka. Yang memberi dan membuka telinganya
dengan tulus, menyediakan waktunya
secara berkualitas (quality time) bersama
mereka, baik secara pribadi maupun komunitas. Bukan menggurui, bukan pula
memberi banyak nasehat dan petuah. Terjalin hubungan yang setara, penuh persahabatan, tulus, dan saling menghargai. Mau dan ikhlas mendengar
segala keluh kesah mereka, itu saja pun sudah
sangat bernilai positif bagi proses pemulihan anjal ini. Apalagi disertai aksi
untuk mengasihi, mengayomi, dan
memberdayakan, tentu lebih baik lagi.
Kelima, menanamkan nilai dan melatih diri. Anak jalanan pada umumnya hidupnya sembarangan. Duduk di
sembarang tempat, tidur
juga di sembarang tempat; apakah di emperan toko,
di trotoar , di bawah jembatan
atau play over. Hidup seharian di jalanan atau
di perempatan lampu merah yang sering kali
penuh debu, polusi
dsb. Sehingga pakaian dan tubuh mereka kotor,
kulit menjadi legam, rambutnya menjadi
kusam tak terurus. Karena itu, ketika
mereka menjadi anggota komunitas di Rumah Singgah,
mereka harus
ditanamkan nilai-nilai bertanggung
jawab, dilatih hidup bersih
(membersihkan badannya dengan mandi pagi dan sore, menyuci pakaiannya, menjaga kebersihan
Rumah Singgah, membersihkan setiap
hari alat musiknya maupun barang-barang bawaanya
ketika di
jalanan.
Dan
203
Pendidikan Kristen Untuk Anak....
ditanamkan sikap jujur, tidak boleh
mencuri barang orang lain.
Keenam, pelatihan life skill. Anak
jalanan sangat membutuhkan pelatihan
keterampilan khusus (life skill) tertentu sesuai minat dan bakatnya, sebagai bekal
bagi mereka untuk mengubah hidup masa depannya. Dengan kegiatan peningkatan kualitas anak jalanan melalui
pemberian pendidikan, pelatihan dan belajar usaha
agar mereka menjadi warga masyarakat
yang produktif.22Ada pelatihan komputer, musik, pertukangan, bengkel mobil,
motor, atau sepeda. Ada kursus salon, atau kursus menjahit bagi remaja putri. Ada kursus untuk servis HP, servis
komputer, servis AC. Ada perlu
pemberian modal awal untuk berjualan yang disertai latihan
pembukuan dan marketing. Melatih mereka untuk jualan secara online.
Namun keseluruhan dari
pelatihan life skill ini, selalu diselipkan penanaman dan pelatihan terhadap nilai-nilai kristiani yang telah disebut di atas
tadi.
Karena beragamnya latar belakang
masalah yang dialami
para anak jalanan
ini, maka dibutuhkan berbagai macam
pendekatan dan strategi yang relevan dengan apa yang dihadapi oleh anak
jalanan. Pada umumnya, pendekatan
pribadi berbasis kebutuhan anak jalanan yang dilakukan karena anak jalanan
banyak menghabiskan waktu
di seputar perempatan lampu merah, maka
pendekatan yang
dilakukan
adalah mengusahakan ketersediaan rumah atau
ruko yang dijadikan Rumah Singgah di sekitar mereka mangkal. Adanya rumah
singgah ini dimaksudkan untuk: a). Menjadi pemondokan bagi mereka
untuk
22Fikriryandi Putra, Dessy Hasanah, and Eva
Nuriyah, “Pemberdayaan Anak Jalanan Di Rumah
Singgah,” Share
Social Work
Journal Vol.5, No.1
(2015):
51–64.
istirahat siang, atau malam hari; b).
Menjadi tempat mereka untuk
membersihkan dirinya dengan mandi dan
mencuci pakaiannya; c). Menjadi
wadah bagi mereka untuk bersosialisasi; d).
Yang
paling utama adalah menjadi tempat
bagi mereka untuk mendapat didikan rohani secara kristiani, antara lain berdoa, bernyanyi rohani, Penelahan Alkitab
bersama, dan konseling pastoral secara terprogram; e). Menjadi tempat pelatihan
yang berkaitan dengan skill of life bagi
mereka, antara lain lain berlatih bermain musik, latihan vokal, lathan tari dan bermain drama, kursus komputer, latihan industri rumah tangga, kursus salon, kursus menjahit, latihan pertukangan, latihan sablon, pangkas dan salon
kecantikan, dsb; f). Rumah Singgah juga menjadi
wadah bagi mereka melatih
diri dalam menerapkan nilai-nilai Firman Tuhan, iman,kasih, pengharapan, kejujuran, tanggung jawab, dan
solidaritas.
Memiliki kepedulian terhadap
masa depan anak jalanan merupakan
sesuatu sikap yang baik dan
menjadi salah satu modal dasar memulai pelayanan pendidikan Kristen. Akan tetapi tidak cukup
hanya kepedulian semata. Ada
banyak tantangan yang harus dihadapi dalam melakukan pelayanan pendidikan Kristen terhadap
anak
jalanan.
Pertama, konsistensi panggilan
pelayanan untuk jenis seperti ini harus
dimiliki oleh pengelola Rumah Singgah
maupun para relawan. Alasan utamanya, karena pelayanan sedemikian rupa maka para
relawan maupun perintis Rumah
Singgah siap berkorban, mendekati mereka,
bersahabat dengan
mereka, sebagai menjadi
sama seperti mereka juga. Kemungkinan kita harus sama
ngamen, bermain dengan mereka di
kolong jembatan, makan ala kadarnya,
tidur apa adanya. Ini adalah hidup yang
rawan. Bisa bersama terkena razia pihak
204
Jurnal Shanan
Volume 4 Nomor 2 Oktober
2020 hal. 194-207
yang berwenang. Kalau relawan bukan
panggilannya rindu untuk mengubah hidup
para anak jalanan, maka tentulah ia tidak
bisa bertahan lama karena terlalu beratnya tantangan. Oleh karena itu,
relawan harus dilengkapi kartu identitas
selain KTP, juga kartu tugas sebagai relawan yang ditugaskan
oleh yayasan pelayanan Rumah Singgah.
Kedua, topangan dana yang
minim. Dinas Sosial, dari tingkat pusat hingga ke daerah sudah mengatur
penyelenggaraan tentang Rumah Singgah. Disamping itu, ada banyak rumah singgah
anjal yang didirikan atas keprihatianan dan panggilan jiwa untuk ikut serta mewarnai kehidupan anak jalanan dengan
memberikan pendidikan Kristen. Karena keterbatasan dana ini banyak Rumah Singgah tutup.
Memang butuh dana yang
lumayan besar dalam menyelenggarakan
pendidikan Kristen melalui wadah Rumah Singgah. Kebutuhan
dana itu untuk sewa ruko
pertahun
puluhan juta;
untuk kebutuhan operasional seperti listrik, air, snack mereka setiap PA, atau latihan-latihan
life skill. Selain itu diperlukan
dana untuk seperangkat meja dan kursi kantor, komputer dan printer, beli
peralatan musik, dan sound system. Diperlukan juga dana untuk membayar PK
(Persembahan Kasih) bukan honor,
kepada berapa orang relawan minimal sesuai
UMR, membayar honor tenaga ahli,
nara sumber, atau pelatih Life Skill
mereka yang tentunya di atas UMR tadi.
Inilah faktor-faktor yang menjadi
tantangan dan hambatan apa dalam mewujudkan pendidikan kristiani kepada
anak jalanan.
Solusi jangka pendek maupun jangka panjang di sekitar dua hal berikut: 1). Membangun jaringan yang luas, baik
secara personal, maupun lembaga-lembaga
donor/ dermawan/ filantropis, baik dalam maupun luar negeri. 2). Merintis dan mengembang usaha yang
ISSN. 2722-4678 (Online)
ISSN: 2549-8061 (Print)
bersifat bagi hasil antara Rumah Singgah dengan anak-anak jalanan binaannya.
Umpamanya, dengan melatih
anak-anak jalanan agar terampil membuat
produk anyaman, jahitan, sablonan, pertukangan,
ukiran,membatik yang produknya mereka jual, dan hasilnya berbagi untuk kebutuhan Rumah Singgah.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan dapat dipaparkan
bahwa pendidikan Kristen adalah upaya untuk memberitakan Kabar Baik bagi anak jalanan melalui pengembangan komunitas
dalam rumah singgah. Dengan demikian,
pendidikan Kristen tidak hanya dibatasi
oleh gedung sekolah dan tembok
gereja, malahan menjangkau orang-orang yang
membutuhkan, dalam hal ini anak jalanan. Pendidikan Kristen bukanlah fungsi kesekian
dalam penatalayanan gereja, namun merupakan upaya integratif dengan bentuk
pelayanan gereja lainnya. Oleh
karena itu, program pendidikan
ataupun pemberdayaan bagi anak jalanan
seyogianya menjadi urgen untuk diimplementasikan oleh gereja ataupun
komunitas orang percaya. Selanjutnya, rumah singgah dapat menjadi salah satu
program prioritas gereja atau komunitas orang
percaya sebagai
upaya
memberdayakan anak jalanan dan agar
mereka memiliki kepenuhan atau
kelimpahan hidup.
Referensi
Arthanto, Hans Geni. “Hans Geni Arthanto, Kemiskinan dan Peran Gereja.” 24
September
2018. https://pesat.org/article/kemiskinan-dan-peran-gereja/.
Astri, Herlina.
“Kehidupan Anak Jalanan Di Indonesia: Faktor Penyebab,
Tatanan Hidup dan Kerentanan Berperilaku Menyimpang.” Aspirasi
205
Pendidikan Kristen Untuk Anak....
Vol.5, No.2 (2014): 145–155.
https://jurnal.dpr.go.id/index.php/asp
irasi/article/view/454.
Fauzi, Ahmad. “Usaha Transformasi
Anak Jalanan Keluar Dari Posisi
Anak Jalanan: Studi Perilaku
Sosial Anak Jalanan di Provinsi
Banten.” E-PLUS:
Eksistensi Pendidikan
Luar Sekolah Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Vol.1, No.1 (2016):
19– 31. http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/E -Plus/article/view/1179.
Groome, Thomas.
Christian
Religious Education. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2011.
Nasofa, Aniyatul, Muhadjir Effendi, dan Nurhadi Nurhadi. “Strategi Pendampingan Anak Jalanan (Studi
Kasus di Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur).”
Jurnal Pendidikan
Non Formal Vol.11, No. 1–7 (2016).
http://journal2.um.ac.id/index.php/JP
N/article/view/2949.
Purwoko, Tjutjup. “Analisis Faktor-Faktor
Penyebab Keberadaan Anak Jalanan di Kota Balikpapan.” eJournalSosiologi Vol.1, No.4
(2013):
13–25. ejournal.sosiologi.or.id.
Putra, Fikriryandi, Dessy Hasanah, dan
Eva Nuriyah. “Pemberdayaan Anak
Jalanan Di Rumah Singgah.” Share Social Work Journal Vol.5, No.1 (2015): 51–64. http://jurnal.unpad.ac.id/share/article
/view/13118.
Robert W., Pazmino. Fondasi Pendidikan
Kristen: Sebuah Pengantar
dalam Perspektif Injili. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2012.
Sanei,dkk, Susy Y.R. Evaluasi Dampak Program
Dukungan Anak Jalanan. Jakarta:
PKPM, 2006.
Saragih, Albet,
dan Johanes Waldes Hasugian. “Model Asuhan Keluarga Kristen di Masa Pandemi Covid-19.” Teruna Bhakti Vol.3,
No.1 (2020): 1–11. http://stakterunabhakti.ac.id/e-journal/index.php/teruna/article/view
/56.
Sianipar, Desi. “Peran Pendidikan Agama
Kristen di Gereja dalam
Meningkatkan Ketahanan Keluarga.” Jurnal Shanan Vol.4, No.1 (2020):
73–91. http://ejournal.uki.ac.id/index.php/sh
an/article/view/1769/1355.
Simamora, May Rauli, dan Johanes Waldes Hasugian. “Penanaman
Nilai-Nilai Kristiani Bagi Ketahanan Keluarga di Era Disrupsi.” Regula
Fidei Vol.5, No.1 (2020): 13–24.
Sinurat, Maria Serenade. “Pendekar Pendidikan Anak Jalanan,” 2010. https://amp.kompas.com/edukasi/rea
d/2010/06/09/09591229/Pendekar.Pe
ndidikan.Anak. Jalanan.
Siswanto, Siswanto,
dan Ageng Widodo. “Pembinaan Anak Jalanan
Melalui Pola Asuh di Rumah Singgah dan
Belajar (RSB) Diponegoro Sleman Yogyakarta.” HISBAH: Jurnal
Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam Vol.16, No.1 (2019): 59–72.
http://ejournal.uin-suka.ac.id/dakwah/hisbah/article/vie w/1351.
Sosial, Departemen. Pedoman
Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah. Jakarta: Departemen Sosial RI, 1999.
Supartini, Tri. “Sudah Ramah Anakkah
Gereja?: Implementasi Konvensi
Hak Anak untuk Mewujudkan
Gereja Ramah Anak.” Jurnal Jaffray Vol.15, No.1 (2017): 1–30. https://ojs.sttjaffray.ac.id/index.php/J
JV71/article/view/233.
206
Jurnal Shanan
Volume 4 Nomor 2 Oktober
2020 hal. 194-207
ISSN. 2722-4678 (Online)
ISSN: 2549-8061 (Print)
Suyanto, Bagong. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010.
Tjandraningsih, dkk, Indrasari. Dehumanisasi Anak Marjinal:
Berbagai Pengalaman Pemberdayaan.
Edited by Surya
Mulandar. Bandung:
Yayasan Akatiga,
1996.
Wenas, Maria Lidya, dan I Putu Ayub Darmawan. “Signifikansi Pendidikan Anak dalam Perspektif Alkitab.”
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Vol.1, No.2 (2017): 118–128.
https://journal.sttsimpson.ac.id/index .php/EJTI/article/view/69.
Wijayatsih, Hendri.
“Pendampingan dan
Konseling Pastoral.” Gema Teologi
Vol.35, No.1/2 (2012): 1–17. https://journal-theo.ukdw.ac.id/index.php/gema/arti cle/view/122.
Yuniarti, Ninik. “Eksploitasi Anak Jalanan Sebagai Pengamen dan
Pengemis di Terminal Tidar Oleh Keluarga.” Komunitas Vol.4,
No.2 (2012): 210–217.
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.p hp/komunitas.
Undang-Undang RI tentang Perlindungan Anak. Indonesia, 2002. https://www.kpai.go.id/hukum/unda ng-undang-uu-ri-no-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak.
207