KEPEMIMPINAN
KRISTEN
Hamba Yang Menginsfirasi
Dr Albet Saragih, MA.,MPd.K[1]
Pengantar
Menjadi
pemimpin yang penuh wibawa, berkharisma, dan disegani kawan maupun lawan,
adalah prototipe gambaran pemimpin yang banyak diinginkan calon pemimpin yang
muda. Bukan saja hal itu ada di benak pemimpin sekuler, tapi juga adalah
menjadi keinginan calon pemimpin kristiani. Ada juga berpandangan bahwa “darah”
kepemimpinan itu adalah warisan. Seseorang menjadi pemimpin yang hebat sudah di
bawa dari sononya. Kalau ayahnya pemimpin, maka anaknya akan mewarisi darah
pemimpin itu. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar, karena karakter kepemimpinan
banyak dibentuk dari pengalaman hidup.
Berbicara mengenai kepemimpinan,
yang terpikirkan bukan hanya menyangkut pemimpin melainkan juga yang dipimpin.
Kedua pihak ini mesti saling pro-aktif. Walaupun pemimpin begitu ideal, namun
jika orang yang dipimpin tidak pro-aktif, sia-sialah sebuah organisasi: tidak
lancar/tidak hidup[2].
Menurut Max de Pree (tokoh manajemen
kepemimpinan) [3],
pemimpin pertama-tama dipahami bukan sebagai jabatan (privilege)[4]
melainkan sebagai pekerjaan/tanggung jawab/responsibility (dan menurut
saya sebagai pelayanan). Artinya, tugas seorang pemimpin adalah berusaha
memberdayakan orang untuk melakukan apa yang seharusnya mereka kerjakan dengan
cara yang paling efektif dan manusiawi [5].
Pekerjaan menjadi efektif jika ada framework (kerangka kerja) yang akan
dikerjakan [6].
Seseorang melakukan hal yang manusiawi jika apa yang mereka lakukan selalu
dalam koridor moral dan ajaran iman.
Kepemimpinan Gerejawi = Kepemimpinan sebagai Hamba. Perbedaan esensial antara pemimpin
Kristen dan pemimpin sekuler . “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah
bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya
menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara
kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu,
hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa
ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk
semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi
banyak orang.” (Mrk. 10:42-45).
Kehambaan di dalam Alkitab[7]
Di Perjanjian
Lama
Dua hal utama berkaitan dengan “hamba” yang
diidentifikasikan oleh PL[8].
Pertama, bangsa Israel sendiri; kedua adalah mesias yang dijanjikan. Gambaran
bangsa Israel sebagai hamba sebagian berkaitan dengan tujuan pemilihan Allah
atas Israel. Namun penting untuk diketahui adalah sebutan “hamba”, menunjukan
tentang seorang yang kepadanya Allah telah membentuk dengan perhatian yang
khusus dan yang kepadanya Allah bahkan mengkomitmenkan diri-Nya. (bnd.
Yes.44:1-2).Figur hamba yang paling dominan dalam PL memang bukanlah Israel,
melainkan Sang Mesias.Yesaya 42:1-4 memberikan gambaran yang lengkap tentang
Hamba ini. Penyebutan “hamba” oleh Allah bukanlah sebuah panggilan yang
terkesan inferior! Hamba Allah selalu istimewa bagi-Nya. Meskipun
Israel gagal dalam panggilannya sebagai hamba, komitmen Allah kepada mereka
tidak pernah terguncang, dan Dia malah menjanjikan pembaharuan kepada mereka.
Hamba yang digambarkan di sini
adalah hamba yang mampu menyenangkan Allah. Dia dianugerahi dengan Roh,
menghidupi kehidupan dengan tenang dan lembut, dan berkarya demi lahirnya
sebuah keadilan.
Kehambaan sebagaimana digambarkan di
dalam PL bukan sebuah jalan hidup yang menarik. Ada harga yang tinggi yang
mesti dibayar. Ini dapat dilihat secara garis besar dalam sketsa Kristus sang
Hamba, yang digambarkan oleh Yesaya: dipilih
oleh Allah (42:1; 49:1) dan diberikan
Roh (42:1); diajar oleh Allah
(50:4), dan menemukan kekuatan didalam
Allah (49:2, 5). Merupakan kehendak
Allah, ketika dia harus menderita (53:10); dia lemah, tidak meyakinkan,
dan dicaci-maki orang-orang (52:14;
53:1-3, 7-9), tetapi ia penurut
(42:2), setia (42:3). dan tidak mudah
menggerutu (50:6; 53:7), walaupun tidak
bersalah, (53:9) dia ditimpakan
penderitaan (50:6, 53:3,8-10),direndahkan
sampai hampir putus asa (49:4), kepercayaan
dan harapannya tetap kepada Allah (49:4; 50:7-9); dia patuh kepada Allah (50:4-5) dan diteguhkan (50:7) sampai dia
menang (42:4; 50:8,9).
Di Perjanjian
Baru
Kita mendapakan inspirasi tentang
kehambaan di dalam PB melalui kitab Injil-injil dan dari teladan Yesus. Dalam
kenyataannya, Yesus memang adalah teladan utama dari kehambaan: “Karena Anak
Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk
memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mrk.10:45). Orang
yang terpanggil untuk melayani-Nya, terpanggil juga untuk mengikuti gaya
hidup-Nya. “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi
pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan
barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Mat. 23:8-12). Yesus
membasuh kaki murid-muridNya Yoh.13:12-17.
Di dalam Kerajaan Allah yang
diplokamirkan Yesus, dan di dalam persekutuan-Nya dengan Gereja-Nya, para
pemimpin gerejawi adalah hamba yang “membungkuk, membasuh dan menyeka” dalam
pelayanannya sebagai hamba yang membersihkan “Tubuh Tuhan”.
Greenleaf [9]
berpendapat bahwa seorang pemimpin sejati adalah seorang hamba. Asumsi dasar dari
kepemimpinan yang melayani adalah “saya menghamba karena saya adalah pemimpin”.
Asumsi ini mengimplikasikan bentuk tindakan altruisme. Kepemimpinan yang
menghamba menekankan suatu bentuk tindakan pelayanan. Inti dari kepemimpinan
yang menghamba atau melalui tindakan menghamba adalah agar mampu mencapai kemampuan diri (capable of
becoming) baik pemimpin tersebut dan juga pengikutnya. Cara membuktikannya
dengan memperhatikan apakah orang-orang yang dilayani tersebut bertumbuh
sebagai pribadi (person)? Apakah mereka, ketika dilayani, menjadi lebih
sehat, bijak, bebas, mandiri, dan juga menjadi seorang pelayan? Apakah orang
tersebut dapat mengembangkan dirinya mencapai batas kemampuannya? Dan, adakah
pengaruhnya bagi masyarakat yang memiliki hak-hak istimewa yang paling sedikit.
Akankah mereka beroleh manfaat atau paling sedikit tidak disingkirkan?[10]
Bahan inspirasi utama saya saat
menulis artikel ini adalah kepemimpinan
Yesus. Sebab kepemimpinan Kristiani selalu berpegang teguh pada ajaran dan
keteladanan Yesus. Dan kita sebagai pengikut-Nya mesti menempatkan diri sebagai
pengikut Kristus sejati (imitatio christi). Ada beberapa karakter
kepemimpinan yang mestinya kita, sebagai umat Kristen, mempraktekkannya dalam
hidup keseharian kita, antara lain:[11]
1. Pendoa
Sebelum membuat
keputusan penting, Yesus berdoa terlebih dahulu. “Pagi-pagi benar, waktu hari
masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan
berdoa di sana (Mrk. 1: 35). Yesus pergi ke bukit untuk berdoa dan
semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah. Ketika hari siang, Ia memanggil
murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang,
yang disebut-Nya rasul (Luk. 6: 12-13).Modal utama pemimpin dalam
merealisasikan (mewujudkan) tanggung jawabnya serta visi dan misinya adalah
kekuatan doa (daya spiritual).
2. Pelayan
Karena Anak
Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk
memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mrk. 10: 42-45).
Pemimpin yang memiliki jiwa pelayan selalu berusaha mengambil keputusan yang
mengarah pada bonum commune (kebaikan/keuntungan bersama) dan bukan
semata-mata demi mencapai bonum private (keuntungan pribadi).[12]
3. Memiliki responsibility
(bertanggung jawab)
Responsibility berasal dari
dua kata. Response: tanggapan, tindakan, jawaban. Ability:
kemampuan, kesanggupan. Jadi, responsibility adalah kemampuan bertindak,
kesanggupan menanggapi. Seorang pemimpin harus memiliki kepekaan pada tanggung
jawabnya. Tanggung jawab adalah semangat hidup seorang pemimpin.
4. Teladan
Yesus adalah
teladan yang baik. Maka Ia disegani. Pengaruh-Nya luar biasa sehingga orang
Farisi “membenci Yesus”.
Yesus
menunjukkan keteladanan kepemimpinan-Nya dengan jalan:
a. Menjadi panutan, memberikan teladan
kehidupan (yakni semangat pelayanan) ketimbang memberikan perintah dan
aturan-aturan yang memaksa.
b. Menjadikan
diri dan kehidupan-Nya sebagai teladan
moralitas. Tidak ada kesalahan dan kejahatan dalam hidup/diri-Nya
c. Transparan: semua orang dapat menilai
dan mengalisis diri-Nya. Yesus juga tidak berbicara dengan sembunyi-sembunyi
melainkan dengan lantang menyuarakan kebenaran dan kebaikan berdasarkan iman
akan Bapa-Nya.[13]
Seorang pemimpin
harus menunjukkan teladan yan baik dan kemudian melatih orang lain untuk mengikutinya. Itulah yang
diterapkan oleh Yesus kepada para muridNya. Maka, kita yang berprofesi sebagai
pemimpin harus mampu melatih orang lain untuk menjadi pemimpin yang handal dan
yang sadar akan tanggung jawabnya.
5. Pemersatu
Yesus mencari
dombanya yang hilang, walau hanya seekor. Ini adalah jiwa kepemimpinan: mencari
orang yang menarik diri dari komunitasnya. Yesus mempersatukan domba yang
terpisah dari komunitasnya. Sebagai seorang pemimpin harus berusaha
mempersatukan orang-orang yang ia pimpin/tuntun. Pemimpin adalah pribadi yang
berperan sebagai mediator, navigator dan problem solver (pemecah
masalah). Pemimpin berusaha mengurangi masalah (yang membuat orang tidak
bersatu) dan bukan menambah masalah ( trouble/problem maker).
6. Rendah hati
Pemimpin yang
menempatkan dirinya sebagai pelayan berarti dia memiliki semangat yang rendah
hati.
Orang yang
rendah hati adalah orang yang mau “turun” langsung melihat realitas/kenyataan
hidup. Dalam Flp. 2: 5-11, di situ ditampilkan semangat Yesus yang sangat
rendah hati. Yesus tidak sombong dengan kesalehan hidup-Nya atau karena Dia
Allah. Kerendahan hati seorang pemimpin tampak juga dalam sikapnya yang mau
mendengar kritik dari orang lain. Mau memperbaharui diri. Dia tidak menempatkan
diri sebagai superior tetapi sebagai socius (teman/sahabat) yang
solider.
7. Self-critical
(introspeksi)
Zaman sekarang
yang diharapkan dari setiap pemimpin adalah kemampuan dan kesediaannya untuk
melakukan pemeriksaan batin: apakah kepemimpinannya mengarah pada jalur yang baik
dan benar. Seorang pemimpin haru bersedia mengoreksi dirinya sendiri.[14]
Ia mesti memeriksa batinnya apakah semangat kepemimpinannya sesuai dengan
semangat kepemimpinan Yesus atau jangan-jangan hanya didasari oleh semangat
egoisme dirinya sendiri. Seorang pemimpin idealnya adalah pribadi yang
visioner. Dalam arti, mampu membaca dan merespons tanda-tanda zaman secara
bijaksana. Selain itu, ia mampu melihat yang lebih baik dan penting bagi
kelancaran organisasinya. Hal ini memang membutuhkan daya kepekaan. Tanpa
kepekaan seorang pemimpin tidak mampu bertindak sebagai inisiator.
9. Profesional
Seorang pemimpin
dianggap professional jika ia membatinkan 8 etos kerja professional.[15]
- Menjalankan kepemimpinannya penuh syukur dan ketulusan/keikhlasan hati.
- Menjalankan kepemimpinannya dengan benar, penuh tanggung jawab dan akuntabilitas
- Bekerja sampai tuntas, penuh kejujuran dan keterbukaan
- Menjalankan kepemimpinannya penuh daya optimisme dan antusiasme.
- Bekerja serius penuh kecintaan dan sukacita
- Kreatif serta inovatif dalam menjalankan tugasnya.
- Bekerja secara tekun, berkualitas dan unggul
- Bekerja dengan dilandasi kebajikan dan kerendahan hati.
10. Tegas
Seorang pemimpin
tidak boleh plin-plan. Dia harus tegas sekaligus bijak dalam mengambil
keputusan. Seorang pemimpin mesti berani memutuskan apapun resikonya. Figur
pemimpin semacam ini idealnya mesti memiliki self-confidence
(kepercayaan diri) yang tinggi. Pemimpin yang tak memiliki self-confidence
akan ragu-ragu memutuskan hal-hal yang urgen. Ini bahaya. Yesus, berani
memutuslan untuk berpihak pada kaum pendosa, sakit, dan miskin walaupun
nyawa-Nya melayang. Yesus sadar, setiap keputusan pasti ada konsekuensi, entah
negatif atau positif. Artinya, Yesus mampu menguasai keadaan dan tidak dikuasai
oleh keadaan. Nah, seorang pemimpin jangan sampai berani memberi keputusan
setelah ada desakan/paksaan. Itu berarti pemimpin tersebut dikuasai oleh
keadaan.
Di tengah kehidupan sekarang yang semakin otomatis, mekanis, dan
digitalis akibat kemajuan teknologi yang semakin canggih, kita sedang
diperhadapkan dengan aktivitas monoton, beban kerja yang semakin berat sehingga
kejenuhan, over kapasitas, dan stress melanda kehidupan kita. Kita membutuhkan
orang-orang yang dapat mencairkan kemonotonan itu. Gereja butuh pemimpin rohani
yang bukan hanya mampu memimpin ritual keagamaan, tetapi terlebih dapat
menginspirasi kehidupan mereka sehingga tetap bergairah.
Saya sangat terkesan apa yang dikemukakan oleh Gubernur Jakarta Basuki
Cahaya Purnama atau Ahok dalam salah satu kata mutiaranya yang dikutip oleh
situs Kata MutiaraLine.Info menyatakan:” Jika tindakan Anda menginspirasi orang
untuk bermimpi, bertindak dan menjadi lebih dari sebelumnya, Anda seorang
pemimpin” . Jadi pemimpin rohani itu bukan menonjolkan seberapa besar kuasanya,
atau seberapa banyak yang dipimpin, ataupun
seberapa banyak fasilitas yang kita akan miliki. Melainkan seberapa
banyak sudah orang di sekeliling kita mengalami transformasi diakibatkan karena
terinspirasi dari cara-cara kita menjalani hidup ini.
Kita banyak diinspirasi oleh Bunda
Theresia dengan pelayanannya terhadap orang miskin dan papa di Calcuta India. Pelayanan
yang dirintis dulu, kini telah mendunia. Apakah yang mendorong beliau sampai
sebegitu luar biasa . Dalam suatu wawancara yang dilakukan tahun 1974, Dia
berkata,” Saya melihat Tuhan di dalam diri setiap orang. Ketika saya
membersihkan luka dari orang yang menderita lepra, saya merasa sedang merawat
Tuhan sendiri. Bukankah ini merupakan pengalaman yang indah ?”[16]
Sikapnya yang luar biasa ini memberi inspirasi kepada begitu banyak wanita dari
seluruh dunia sehingga mereka mendedikasikan dirinya mengikuti jejak Bunda
Theresia menjadi suster sehingga
membentuk satu organisasi yang mendunia yang disebut Missionaries of Charity ( Missionaris Cinta Kasih).
Jadi pemimpin rohani sejatinya
membawa inspirasi bagi anggota jemaatnya.
Daftar Kepustakaan
1.
A.M.Lilik Agung, Berburu (Calon) Pemimpin, dalam
Hidup Edisi 28 September 2008
2.
Lawrance O.Richards dan Clyde Hoeldtke, A Theology Of Church Leadership, (Grand
Rapids: Zondervan Publishing House, 1981)
3.
Robert K. Greenleaf, Servant Leadership: A
Journey Into the Nature Of Legitimate Power And Greatness (Mahwah, NJ:
Paulist Press, 1977)
4.
Karl R.
Popper, Open Society Vol. I (New Jersey: Princeton University Press,
1996).
5.
Jansen
Sinamo: 8 Etos Kerja : Bandung. Bina
Media Informasi, cet. 2012
6.
https://postinus.wordpress.com/2008/12/12/karakter-kepemimpinan-kristiani/
8.
http://www.gkihalimun.org/kegiatan-pembangunan-jemaat/artikel-bina-iman/pemimpinsebagaihamba,
[1]
Penulis adalah dosen S1 &
Pascasarjana STTSU Medan sejak 1997s/d sekarang. Dan mengajar sebagai dosen
pascasarjana tamu di beberapa PTT . Melayani sebagai gembala di gereja
Perhimpunan Injili Baptis Indonesia (PIBI) Syaloom Medan-Pancurbatu. Bahan
ini sebelum direvisi, sudah disajikan
dalam kegiatan Dialog Kerukunan Intern Umat Kristen yang diadakan oleh Kemenag
Seksi Urusan Agama Kristen Kab. Dairi , 16/2/2017 bertempat di Sidikalang.
[2]
https://postinus.wordpress.com/2008/12/12/karakter-kepemimpinan-kristiani/,
diakses 13/2/16
[3]
Lihat www.depree.org/html/maxdepree.html,
diakses 6 Desember 2008. Max pernah mengatakan: kepemimpinan berkaitan erat
dengan a belief and a condition of the heart (jujur, terbuka, ikhlas,
beriman, dan optimis).
[4]
Oleh karena itu, seorang pemimpin tidak harus memiliki jabatan
sentral-struktural. Seorang pemimpin bisa saja dari antara umat biasa atau
rakyat biasa.
[5]
Seperti dijelaskan oleh A.M.Lilik Agung, Berburu (Calon) Pemimpin, dalam
Hidup Edisi 28 September 2008, hlm. 50.
[6]
Itu sebabnya, seorang pemimpin mesti
memiliki visi dan misi yang jelas dan terpercaya.
[7]
Disadur dari: Lawrance O.Richards dan Clyde Hoeldtke, A Theology Of Church
Leadership, (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1981), hlm. 103-109.
[8]
http://www.gkihalimun.org/kegiatan-pembangunan-jemaat/artikel-bina-iman/pemimpinsebagaihamba,
diakses 14/10/16
[9]
Teori Kepemimpinan yang Menghamba (Servant Leadership) di
kenal melalui tulisan Robert K. Greenleaf . Ia membangun teori kepemimpinan
yang menghamba berdasarkan pembacaan atas cerita Herman Hesse dalam buku Journey
to the East yang bercerita tentang sebuah peziarahan spiritual.
[10]
Robert K. Greenleaf, Servant Leadership: A Journey Into the Nature Of
Legitimate Power And Greatness (Mahwah, NJ: Paulist Press, 1977), hlm.
21.
[12]
Bdk., Paulus Winarto, Paulus Winarto, The
Leadershp Wisdom (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2005), hlm. 34.
[13]
. Lihat http://bobbybutarbutar.wordpress.com/2008/04/24/menjadi-pemimpin-kristen,
diakses 10/11/2008.
[14]
Karl R. Popper, Open Society Vol. I (New Jersey: Princeton University
Press, 1996).
[15]
Etos adalah suatu spirit (semangat/daya) yang mewujud menjadi seperangkat
tindakan dan perilaku khas yang berpangkal pada kesadaran yang jernih,
keyakinan yang mantap, dan komitmen yang teguh pada nilai-nilai dan
prinsip-prinsip tertentu. 8 Etos kerja ini saya intisarikan dari pendapat
Jansen Sinamo, seorang motivator terbaik Indonesia.
[16]
http://jagokata.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar