Kamis, 29 Maret 2012

Hamba Yang Menginsfirasi




KEPEMIMPINAN KRISTEN
Hamba Yang Menginsfirasi

Dr Albet Saragih, MA.,MPd.K[1]
Pengantar
Menjadi pemimpin yang penuh wibawa, berkharisma, dan disegani kawan maupun lawan, adalah prototipe gambaran pemimpin yang banyak diinginkan calon pemimpin yang muda. Bukan saja hal itu ada di benak pemimpin sekuler, tapi juga adalah menjadi keinginan calon pemimpin kristiani. Ada juga berpandangan bahwa “darah” kepemimpinan itu adalah warisan. Seseorang menjadi pemimpin yang hebat sudah di bawa dari sononya. Kalau ayahnya pemimpin, maka anaknya akan mewarisi darah pemimpin itu. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar, karena karakter kepemimpinan banyak dibentuk dari pengalaman hidup.
Berbicara mengenai kepemimpinan, yang terpikirkan bukan hanya menyangkut pemimpin melainkan juga yang dipimpin. Kedua pihak ini mesti saling pro-aktif. Walaupun pemimpin begitu ideal, namun jika orang yang dipimpin tidak pro-aktif, sia-sialah sebuah organisasi: tidak lancar/tidak hidup[2].
Menurut Max de Pree (tokoh manajemen kepemimpinan) [3], pemimpin pertama-tama dipahami bukan sebagai jabatan (privilege)[4] melainkan sebagai pekerjaan/tanggung jawab/responsibility (dan menurut saya sebagai pelayanan). Artinya, tugas seorang pemimpin adalah berusaha memberdayakan orang untuk melakukan apa yang seharusnya mereka kerjakan dengan cara yang paling efektif dan manusiawi [5]. Pekerjaan menjadi efektif jika ada framework (kerangka kerja) yang akan dikerjakan [6]. Seseorang melakukan hal yang manusiawi jika apa yang mereka lakukan selalu dalam koridor moral dan ajaran iman.
Kepemimpinan Gerejawi = Kepemimpinan sebagai Hamba. Perbedaan esensial antara pemimpin Kristen dan pemimpin sekuler . “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mrk. 10:42-45).
Kehambaan di dalam Alkitab[7]
Di  Perjanjian Lama
Dua hal utama  berkaitan dengan “hamba” yang diidentifikasikan oleh PL[8]. Pertama, bangsa Israel sendiri; kedua adalah mesias yang dijanjikan. Gambaran bangsa Israel sebagai hamba sebagian berkaitan dengan tujuan pemilihan Allah atas Israel. Namun penting untuk diketahui adalah sebutan “hamba”, menunjukan tentang seorang yang kepadanya Allah telah membentuk dengan perhatian yang khusus dan yang kepadanya Allah bahkan mengkomitmenkan diri-Nya. (bnd. Yes.44:1-2).Figur hamba yang paling dominan dalam PL memang bukanlah Israel, melainkan Sang Mesias.Yesaya 42:1-4 memberikan gambaran yang lengkap tentang Hamba ini. Penyebutan “hamba” oleh Allah bukanlah sebuah panggilan yang terkesan inferior! Hamba Allah selalu istimewa bagi-Nya. Meskipun Israel gagal dalam panggilannya sebagai hamba, komitmen Allah kepada mereka tidak pernah terguncang, dan Dia malah menjanjikan pembaharuan kepada mereka.
Hamba yang digambarkan di sini adalah hamba yang mampu menyenangkan Allah. Dia dianugerahi dengan Roh, menghidupi kehidupan dengan tenang dan lembut, dan berkarya demi lahirnya sebuah keadilan.
          Kehambaan sebagaimana digambarkan di dalam PL bukan sebuah jalan hidup yang menarik. Ada harga yang tinggi yang mesti dibayar. Ini dapat dilihat secara garis besar dalam sketsa Kristus sang Hamba, yang digambarkan oleh Yesaya: dipilih oleh Allah (42:1; 49:1) dan diberikan Roh (42:1); diajar oleh Allah (50:4), dan menemukan kekuatan didalam Allah (49:2, 5). Merupakan kehendak Allah, ketika dia harus menderita (53:10); dia lemah, tidak meyakinkan, dan dicaci-maki orang-orang (52:14; 53:1-3, 7-9), tetapi ia penurut (42:2), setia (42:3). dan tidak mudah menggerutu (50:6; 53:7), walaupun tidak bersalah, (53:9) dia ditimpakan penderitaan (50:6, 53:3,8-10),direndahkan sampai hampir putus asa (49:4), kepercayaan dan harapannya tetap kepada Allah (49:4; 50:7-9); dia patuh kepada Allah (50:4-5) dan diteguhkan (50:7) sampai dia menang (42:4; 50:8,9).
Di  Perjanjian Baru
Kita mendapakan inspirasi tentang kehambaan di dalam PB melalui kitab Injil-injil dan dari teladan Yesus. Dalam kenyataannya, Yesus memang adalah teladan utama dari kehambaan: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mrk.10:45). Orang yang terpanggil untuk melayani-Nya, terpanggil juga untuk mengikuti gaya hidup-Nya. “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Mat. 23:8-12). Yesus membasuh kaki murid-muridNya Yoh.13:12-17.
Di dalam Kerajaan Allah yang diplokamirkan Yesus, dan di dalam persekutuan-Nya dengan Gereja-Nya, para pemimpin gerejawi adalah hamba yang “membungkuk, membasuh dan menyeka” dalam pelayanannya sebagai hamba yang membersihkan “Tubuh Tuhan”.
Greenleaf [9] berpendapat bahwa seorang pemimpin sejati  adalah seorang hamba. Asumsi dasar dari kepemimpinan yang melayani adalah “saya menghamba karena saya adalah pemimpin”. Asumsi ini mengimplikasikan bentuk tindakan altruisme. Kepemimpinan yang menghamba menekankan suatu bentuk tindakan pelayanan. Inti dari kepemimpinan yang menghamba atau melalui tindakan menghamba adalah agar  mampu mencapai kemampuan diri (capable of becoming) baik pemimpin tersebut dan juga pengikutnya. Cara membuktikannya dengan memperhatikan apakah orang-orang yang dilayani tersebut bertumbuh sebagai pribadi (person)? Apakah mereka, ketika dilayani, menjadi lebih sehat, bijak, bebas, mandiri, dan juga menjadi seorang pelayan? Apakah orang tersebut dapat mengembangkan dirinya mencapai batas kemampuannya? Dan, adakah pengaruhnya bagi masyarakat yang memiliki hak-hak istimewa yang paling sedikit. Akankah mereka beroleh manfaat atau paling sedikit tidak disingkirkan?[10]
Bahan inspirasi utama saya saat menulis artikel ini  adalah kepemimpinan Yesus. Sebab kepemimpinan Kristiani selalu berpegang teguh pada ajaran dan keteladanan Yesus. Dan kita sebagai pengikut-Nya mesti menempatkan diri sebagai pengikut Kristus sejati (imitatio christi). Ada beberapa karakter kepemimpinan yang mestinya kita, sebagai umat Kristen, mempraktekkannya dalam hidup keseharian kita, antara lain:[11]
1. Pendoa
Sebelum membuat keputusan penting, Yesus berdoa terlebih dahulu. “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana (Mrk. 1: 35). Yesus pergi ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah. Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul (Luk. 6: 12-13).Modal utama pemimpin dalam merealisasikan (mewujudkan) tanggung jawabnya serta visi dan misinya adalah kekuatan doa (daya spiritual).
2. Pelayan
Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mrk. 10: 42-45). Pemimpin yang memiliki jiwa pelayan selalu berusaha mengambil keputusan yang mengarah pada bonum commune (kebaikan/keuntungan bersama) dan bukan semata-mata demi mencapai bonum private (keuntungan pribadi).[12]
3. Memiliki responsibility (bertanggung jawab)
Responsibility berasal dari dua kata. Response: tanggapan, tindakan, jawaban. Ability: kemampuan, kesanggupan. Jadi, responsibility adalah kemampuan bertindak, kesanggupan menanggapi. Seorang pemimpin harus memiliki kepekaan pada tanggung jawabnya. Tanggung jawab adalah semangat hidup seorang pemimpin.

4. Teladan 
Yesus adalah teladan yang baik. Maka Ia disegani. Pengaruh-Nya luar biasa sehingga orang Farisi “membenci Yesus”.
Yesus menunjukkan keteladanan kepemimpinan-Nya dengan jalan:
a.  Menjadi panutan, memberikan teladan kehidupan (yakni semangat pelayanan) ketimbang memberikan perintah dan aturan-aturan yang memaksa.
b. Menjadikan diri dan kehidupan-Nya sebagai teladan moralitas. Tidak ada kesalahan dan kejahatan dalam hidup/diri-Nya
c. Transparan: semua orang dapat menilai dan mengalisis diri-Nya. Yesus juga tidak berbicara dengan sembunyi-sembunyi melainkan dengan lantang menyuarakan kebenaran dan kebaikan berdasarkan iman akan Bapa-Nya.[13]
Seorang pemimpin harus menunjukkan teladan yan baik dan kemudian melatih orang lain untuk mengikutinya. Itulah yang diterapkan oleh Yesus kepada para muridNya. Maka, kita yang berprofesi sebagai pemimpin harus mampu melatih orang lain untuk menjadi pemimpin yang handal dan yang sadar akan tanggung jawabnya.
5. Pemersatu
Yesus mencari dombanya yang hilang, walau hanya seekor. Ini adalah jiwa kepemimpinan: mencari orang yang menarik diri dari komunitasnya. Yesus mempersatukan domba yang terpisah dari komunitasnya. Sebagai seorang pemimpin harus berusaha mempersatukan orang-orang yang ia pimpin/tuntun. Pemimpin adalah pribadi yang berperan sebagai mediator, navigator dan problem solver (pemecah masalah). Pemimpin berusaha mengurangi masalah (yang membuat orang tidak bersatu) dan bukan menambah masalah ( trouble/problem maker).
6. Rendah hati
Pemimpin yang menempatkan dirinya sebagai pelayan berarti dia memiliki semangat yang rendah hati.
Orang yang rendah hati adalah orang yang mau “turun” langsung melihat realitas/kenyataan hidup. Dalam Flp. 2: 5-11, di situ ditampilkan semangat Yesus yang sangat rendah hati. Yesus tidak sombong dengan kesalehan hidup-Nya atau karena Dia Allah. Kerendahan hati seorang pemimpin tampak juga dalam sikapnya yang mau mendengar kritik dari orang lain. Mau memperbaharui diri. Dia tidak menempatkan diri sebagai superior tetapi sebagai socius (teman/sahabat) yang solider.
7. Self-critical (introspeksi)
Zaman sekarang yang diharapkan dari setiap pemimpin adalah kemampuan dan kesediaannya untuk melakukan pemeriksaan batin: apakah kepemimpinannya mengarah pada jalur yang baik dan benar. Seorang pemimpin haru bersedia mengoreksi dirinya sendiri.[14] Ia mesti memeriksa batinnya apakah semangat kepemimpinannya sesuai dengan semangat kepemimpinan Yesus atau jangan-jangan hanya didasari oleh semangat egoisme dirinya sendiri. Seorang pemimpin idealnya adalah pribadi yang visioner. Dalam arti, mampu membaca dan merespons tanda-tanda zaman secara bijaksana. Selain itu, ia mampu melihat yang lebih baik dan penting bagi kelancaran organisasinya. Hal ini memang membutuhkan daya kepekaan. Tanpa kepekaan seorang pemimpin tidak mampu bertindak sebagai inisiator.
9. Profesional
Seorang pemimpin dianggap professional jika ia membatinkan 8 etos kerja professional.[15]
  1. Menjalankan kepemimpinannya penuh syukur dan ketulusan/keikhlasan hati.
  2. Menjalankan kepemimpinannya dengan benar, penuh tanggung jawab dan akuntabilitas
  3. Bekerja sampai tuntas, penuh kejujuran dan keterbukaan
  4. Menjalankan kepemimpinannya penuh daya optimisme dan antusiasme.
  5. Bekerja serius penuh kecintaan dan sukacita
  6. Kreatif serta inovatif dalam menjalankan tugasnya.
  7. Bekerja secara tekun, berkualitas dan unggul
  8. Bekerja dengan dilandasi kebajikan dan kerendahan hati.

 10. Tegas
Seorang pemimpin tidak boleh plin-plan. Dia harus tegas sekaligus bijak dalam mengambil keputusan. Seorang pemimpin mesti berani memutuskan apapun resikonya. Figur pemimpin semacam ini idealnya mesti memiliki self-confidence (kepercayaan diri) yang tinggi. Pemimpin yang tak memiliki self-confidence akan ragu-ragu memutuskan hal-hal yang urgen. Ini bahaya. Yesus, berani memutuslan untuk berpihak pada kaum pendosa, sakit, dan miskin walaupun nyawa-Nya melayang. Yesus sadar, setiap keputusan pasti ada konsekuensi, entah negatif atau positif. Artinya, Yesus mampu menguasai keadaan dan tidak dikuasai oleh keadaan. Nah, seorang pemimpin jangan sampai berani memberi keputusan setelah ada desakan/paksaan. Itu berarti pemimpin tersebut dikuasai oleh keadaan.


Di tengah kehidupan sekarang yang semakin otomatis, mekanis, dan digitalis akibat kemajuan teknologi yang semakin canggih, kita sedang diperhadapkan dengan aktivitas monoton, beban kerja yang semakin berat sehingga kejenuhan, over kapasitas, dan stress melanda kehidupan kita. Kita membutuhkan orang-orang yang dapat mencairkan kemonotonan itu. Gereja butuh pemimpin rohani yang bukan hanya mampu memimpin ritual keagamaan, tetapi terlebih dapat menginspirasi kehidupan mereka sehingga tetap bergairah.
Saya sangat terkesan apa yang dikemukakan oleh Gubernur Jakarta Basuki Cahaya Purnama atau Ahok dalam salah satu kata mutiaranya yang dikutip oleh situs Kata MutiaraLine.Info menyatakan:” Jika tindakan Anda menginspirasi orang untuk bermimpi, bertindak dan menjadi lebih dari sebelumnya, Anda seorang pemimpin” . Jadi pemimpin rohani itu bukan menonjolkan seberapa besar kuasanya, atau seberapa banyak yang dipimpin, ataupun  seberapa banyak fasilitas yang kita akan miliki. Melainkan seberapa banyak sudah orang di sekeliling kita mengalami transformasi diakibatkan karena terinspirasi dari cara-cara kita menjalani hidup ini.
 Kita banyak diinspirasi oleh Bunda Theresia dengan pelayanannya terhadap orang miskin dan papa di Calcuta India. Pelayanan yang dirintis dulu, kini telah mendunia. Apakah yang mendorong beliau sampai sebegitu luar biasa . Dalam suatu wawancara yang dilakukan tahun 1974, Dia berkata,” Saya melihat Tuhan di dalam diri setiap orang. Ketika saya membersihkan luka dari orang yang menderita lepra, saya merasa sedang merawat Tuhan sendiri. Bukankah ini merupakan pengalaman yang indah ?”[16] Sikapnya yang luar biasa ini memberi inspirasi kepada begitu banyak wanita dari seluruh dunia sehingga mereka  mendedikasikan dirinya mengikuti jejak Bunda Theresia menjadi suster  sehingga membentuk satu organisasi yang mendunia yang disebut Missionaries  of Charity ( Missionaris Cinta Kasih).
Jadi pemimpin rohani  sejatinya membawa inspirasi bagi anggota jemaatnya.
Daftar Kepustakaan
1.      A.M.Lilik Agung, Berburu (Calon) Pemimpin, dalam Hidup Edisi 28 September 2008
2.      Lawrance O.Richards dan Clyde Hoeldtke, A Theology Of Church Leadership, (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1981)
3.      Robert K. Greenleaf, Servant Leadership: A Journey Into the Nature Of Legitimate Power And Greatness (Mahwah, NJ: Paulist Press, 1977)
4.       Karl R. Popper, Open Society Vol. I (New Jersey: Princeton University Press, 1996).
5.      Jansen Sinamo: 8 Etos Kerja : Bandung. Bina Media Informasi, cet. 2012
6.      https://postinus.wordpress.com/2008/12/12/karakter-kepemimpinan-kristiani/
8.      http://www.gkihalimun.org/kegiatan-pembangunan-jemaat/artikel-bina-iman/pemimpinsebagaihamba,




[1] Penulis adalah dosen S1 & Pascasarjana STTSU Medan sejak 1997s/d sekarang. Dan mengajar sebagai dosen pascasarjana tamu di beberapa PTT . Melayani sebagai gembala di gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia (PIBI) Syaloom Medan-Pancurbatu. Bahan ini  sebelum direvisi, sudah disajikan dalam kegiatan Dialog Kerukunan Intern Umat Kristen yang diadakan oleh Kemenag Seksi Urusan Agama Kristen Kab. Dairi , 16/2/2017 bertempat di Sidikalang.
[2] https://postinus.wordpress.com/2008/12/12/karakter-kepemimpinan-kristiani/, diakses 13/2/16
[3] Lihat www.depree.org/html/maxdepree.html, diakses 6 Desember 2008. Max pernah mengatakan: kepemimpinan berkaitan erat dengan a belief and a condition of the heart (jujur, terbuka, ikhlas, beriman, dan optimis).
[4] Oleh karena itu, seorang pemimpin tidak harus memiliki jabatan sentral-struktural. Seorang pemimpin bisa saja dari antara umat biasa atau rakyat biasa.
[5] Seperti dijelaskan oleh A.M.Lilik Agung, Berburu (Calon) Pemimpin, dalam Hidup Edisi 28 September 2008, hlm. 50.
[6] Itu sebabnya, seorang pemimpin mesti memiliki visi dan misi yang jelas dan terpercaya.
[7] Disadur dari: Lawrance O.Richards dan Clyde Hoeldtke, A Theology Of Church Leadership, (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1981), hlm. 103-109.
[8] http://www.gkihalimun.org/kegiatan-pembangunan-jemaat/artikel-bina-iman/pemimpinsebagaihamba, diakses 14/10/16
[9] Teori Kepemimpinan yang Menghamba (Servant Leadership) di kenal melalui tulisan Robert K. Greenleaf . Ia membangun teori kepemimpinan yang menghamba berdasarkan pembacaan atas cerita Herman Hesse dalam buku Journey to the East yang bercerita tentang sebuah peziarahan spiritual.
[10] Robert K. Greenleaf, Servant Leadership: A Journey Into the Nature Of Legitimate Power And Greatness (Mahwah, NJ: Paulist Press, 1977), hlm. 21.

[12] Bdk., Paulus Winarto, Paulus Winarto, The Leadershp Wisdom (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2005), hlm. 34. 
[14] Karl R. Popper, Open Society Vol. I (New Jersey: Princeton University Press, 1996).

[15] Etos adalah suatu spirit (semangat/daya) yang mewujud menjadi seperangkat tindakan dan perilaku khas yang berpangkal pada kesadaran yang jernih, keyakinan yang mantap, dan komitmen yang teguh pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu. 8 Etos kerja ini saya intisarikan dari pendapat Jansen Sinamo, seorang motivator terbaik Indonesia.
[16] http://jagokata.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar